Kamis, 28 April 2011

DAMPAK NEGATIF GUNUNG API

Selain berpotensi sebagai daerah yang menguntungkan gunungapi juga berpotensi sebagai sumber bencana. Secara garis besar bahaya akibat erupsi gunungapi dapat dibagi menjadi dua yaitu bahaya langsung (primer) dan bahaya setelah terjadinya letusan (sekunder).
Bahaya primer akibat erupsi gunungapi meliputi :
1.      Aliran Lava
Aliran lava yaitu terjadinya aliran batu cair yang pijar dan bersuhu tinggi (sampai 12000 C). Alirannya menuruni lereng yang terjal dan dapat mencapai beberapa kilometer. Semua benda yang dilaluinya akan hangus dan terbakar. Apabila melongsor akan menimbulkan awan panas.
2.       Bom Gunungapi
Bom gunungapi berujud batuan panas dan pijar berukuran 10 cm – 2 m. Batuan ini dapat terlempar dari pusat erupsi sejauh hingga 10 km. Bom ini dapat menimbulkan kebakaran hutan, pemukiman dan lahan pertanian. Bila tiba di tanah bom ini akan mengeluarkan letusan dan akan hancur.

3.       Pasir Lapili
Pasir dan lapili adalah campuran material letusan yang ukuranya lebih kecil dari bom (< 2 mm). Sedangkan lapili lebih besar daripada pasir hingga mencapai beberapa cm. Apabila terjadi letusan pasir dan lapili ini dapat terlempar hingga puluhan kilometer. Pasir dan lapili ini dapat menghancurkan atap rumah karena bebannya juga dapat merusak lahan pertanian hingga dapat membunuh tanaman.
4.       Awan Pijar
Awan pijar adalah suspensi dai material halus yang dihasilkan oleh erupsi gunungapi dan dihembuskan oleh angin hingga mencapai beberapa kilometer. Awan pijar ini merupakan campuran yang pekat dari gas, uap dan material halus yang bersuhu tinggi (hingga 12000 C). Suspensi ini berat sehingga mengalir menuruni lereng gunungapi dan seolah-olah meluncur, luncurannya dapat menapai 10 – 20 km. Dan membakar apa yang dilaluinya seperti yang terjadi pada Gunung Merapi pada tanggal 22 November 1994 yang memakan korban 60 orang terbakar hidup-hidup dan tak terhitung lagi ternak yang mati terpanggang akibat hembusan awan panas ini.
5.       Abu Gunungapi
Abu ini merupakan campuran material yang paling halus dari suatu letusan gunungapi. Suhunya bisa tidak panas lagi. Ukurannya kurang dari 1 mikron - 0.2 mm. Bahaya yang ditimbulkan antara lain bisa mengganggu penerbangan seperti yang terjadi pada saat letusan G. Galunggung, dapat menimbulkan sesak napas apabila terlalu banyak mengisap abu gunungapi dan menimbulkan penyakit silikosis, yaitu penyakit yang diakibatkan oleh penggumpalan silika bebas pada paru-paru yang diakibatkan oleh terisapnya abu gunungapi yang mengandung silika bebas.
6.       Gas Beracun
Kadar gas yang tinggi dapat menimbulkan kematian. Gunungapi biasanya mengeluarkan gas CO, CO2, H2S, HCN, H3As, NO2, Cl2 dan gas lain yang jumlahnya sedikit. Nilai batas ambang untuk gas CO 50 ppm (part per million), CO2 5,00 ppm, sedangkan gas H3As yang sangat mematikan pada 0,05 ppm. Gas yanga dikeluarkan saat erupsi tidak begitu berbahaya karena gas tersebut langsung terbakar pada saat terjadi letusa gunungapi. Yang paling berbahaya adalah apabila gas tersebut dikeluarkan pada sisa-sisa gunungapi seperti yang terjadi di Pegunungan Dieng. Gas tersebut BJ-nya lebih besar dari udara bebas sehingga letaknya berada pada daerah-daerah yang rendah seperti di lembah-lembah, dekat permukaan tanah. Bahaya yang tidak kalah berbahayanya adalah bahaya setelah terjadi letusan yaitu bahaya sekunder. Bahaya tersebut berupa bahaya aliran lahar. Lahar terbentuk dari batuan yang dilemparkan dari pusat erupsi baik blok, bom, lapili, tuff, abu maupun longsoran kubah lava. Apabila terjadi hujan lebat yang turun bersamaan atau setelah erupsi maka endapan material hasil erupsi tersebut akan terangkut oleh aliran air membentuk aliran bahan rombakan yang biasa disebut alira lahar. Aliran lahar ini mempunyai kekuatan merusak yang besar dan akan melalui apa saja yang ada di depannya tanpa kecuali baik pemukiman, hutan, tanah pertanian maupun tanggul sungai yang dilaluinya.

Senin, 25 April 2011

POTRET BURAM DI BALIK KEMILAU TIMAH BANGKA BELITUNG (bagian II)


Solusi Sekaligus Masalah
Didalam proses penambangan timah dikenal 2 jenis penambangan yang dikenal di Bangka Belitung, yaitu penambangan darat dan penambangan lepas pantai (laut). Penambangan darat dilakukan dengan cara membuat lubang-lubang/kolong-kolong galian dan mengeruk pasir timah dengan bantuan pompa semprot (gravel pump). Sedangkan penambangan lepas pantai (laut) dilakukan dengan cara menyedot sedimen pasir timah yang terendapkan di dasar laut.
Pada mulanya, penambangan timah hanya dilakukan di daratan Bangka Belitung. Namun, semakin sulitnya mendapatkan lokasi yang kaya timah di daratan, hasil penambangan di darat yang terus merosot, dan biaya operasional yang semakin melambung membuat masyarakat dan perusahaan penambang timah mengalihkan prioritas penambangan ke laut.
Penambangan timah di laut Bangka Belitung yang dipandang sebagai cara mudah dan murah untuk memperoleh bijih timah dalam jumlah besar ternyata juga menjadi cara mudah dan murah untuk merusak ekosistem laut Bangka Belitung. Apalagi semenjak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (otonomi daerah) dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 146/MPP/Kep/4/1999 mengenai pencabutan timah sebagai komoditas strategis, kegiatan penambangan timah semakin marak dilakukan di lepas pantai Bangka Belitung.
Disamping operasi PT Timah, sejumlah masyarakat lokal juga melakukan kegiatan penambangan dalam skala kecil atau biasa disebut kegiatan tambang inkonvensional (TI). Bagi perusahaan besar, seperti PT Timah, penambangan dilakukan dengan menggunakan kapal berukuran besar, sedangkan masyarakat lokal cenderung mengoperasikan perahu. Dari kapal atau perahu, timah tersebut disedot dari dasar laut.
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bangka Belitung H Yulistyo, mengungkapkan, ” Sudah 40 persen terumbu karang di perairan Bangka hancur gara-gara penambangan timah. Di Teluk Klabat, sebelah barat laut Bangka, kehancuran terumbu karang mencapai 80 persen, sebab di lokasi itu penambangan timah dilakukan sudah puluhan tahun oleh PT Timah. Sebagai akibatnya, ikan semakin sulit didapat karena habitatnya sudah hancur.” ungkapnya.
Dalam sehari puluhan ton pasir disedot, setelah pasir timah tertampung semua, limbah berupa tanah langsung dibuang ke laut, akibatnya sedimentasi tanah menutup dan mematikan terumbu karang, dan sebaliknya alga merajalela. Oleh karena itu, ekosistem laut di wilayah Bangka Belitung kini rusak parah. (timlo.net)
Rusaknya terumbu karang berakibat pada berkurangnya sumber daya ikan di wilayah perairan Pulau Bangka karena terumbu karang merupakan tempat hidup dan berkembangbiak ikan-ikan. Ikan yang semakin berkurang membuat banyak nelayan kehilangan mata pencaharian. Kemiskinan pun semakin meningkat.
Kegiatan penambangan timah yang jelas merusak lingkungan laut dan melanggar ketentuan Undang-Undang, yang terjadi di Bangka Belitung tersebut, sayangnya tidak mendapatkan reaksi sosial yang kuat dari masyarakat. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa, masyarakat yang telah beralih profesi menjadi penambang tetap melakukan aktivitas mengeruk dan menyedot tanah untuk menyaring timah, meskipun air laut sudah semakin keruh dan berwarna hitam. Ini menjadi sesuatu yang dilematis, baik bagi masyarakat sendiri maupun Pemerintah. Bagi masyarakat, kalau bukan menambang, mereka tidak tahu mata pencaharian alternatif yang bisa dijadikan untuk pegangan dalam menyambung hidup, sementara kegiatan melaut dan mencari ikan sudah tidak menjanjikan lagi. Namun melakukan kegiatan menambang juga mempunyai kerugian seperti kehilangan nyawa atau tertangkap petugas yang sedang melakukan razia terhadap cukong atau pelaku tambang timah ilegal. Bagi Pemerintah Daerah dan Pusat, sesuatu yang menjadi dilematis adalah mengenai kebijakan yang akan diambil. Apabila Pemerintah mengeluarkan pelarangan untuk melakukan kegiatan menambang, demonstrasi masa untuk menuntut diberlakukannya izin tersebut akan meledak secara cepat. Akan tetapi, apabila kegiatan ini diizinkan, penambangan timah semakin membabi buta dan menyebabkan kerusakan pada lingkungan laut. (Harian KOMPAS, Senin, 17 Mei 2010, hlm. 15)


Pisau Bermata Dua
Kegiatan penambangan timah di Bangka Belitung bagaikan pisau bermata dua bagi Pemerintah. Di satu sisi, penambangan timah offshore perlu dilakukan karena dapat menambah lapangan kerja dan mengurangi angka pengangguran. Di sisi lain, penambangan timah offshore berdampak buruk bagi ekosistem laut dan mengancam mata pencaharian para nelayan di Bangka Belitung. Melarang dan mengizinkan merupakan pilihan yang sulit karena keduanya memiliki dampak dan manfaat masing-masing.
Jika kita telaah lagi, ekosistem laut Bangka Belitung yang rusak merupakan buah dari kerusakan daratan Bangka Belitung yang sebelumnya digunakan sebagai tempat penambangan timah. Setelah daratan tidak lagi diaggap potensial untuk penambangan timah, para penambang beralih ke penambangan lepas pantai (offshore) sehingga terjadilah kerusakan ekosistem laut seperti saat ini.
Rehabilitasi daerah bekas penambangan timah adalah jawaban untuk menyelesaikan masalah kerusakan yang menjalar tersebut. Dengan rehabilitasi, kondisi alam di sekitar daerah bekas penambangan timah akan pulih dan dapat dimanfaatkan kembali menjadi areal perkebunan, pertanian, atau bahkan objek wisata.
Pemulihan kondisi alam ini sangat perlu mengingat kegiatan penambangan yang cenderung merusak tanpa memperhatikan keadaan lingkungan sekitarnya. Upaya rehabilitasi ini dikhususkan pada pemulihan kondisi daratan Bangka Belitung. Setelah pulih, diharapkan masyarakat tidak terlalu bergantung pada mata pencahariannya sebagai penambang timah. Lahan bekas tambang timah pun menjadi bermanfaat secara estetika, ekonomis, pendidikan, dan hal-hal positif seperti di atas.
Untuk penambangan timah lepas pantai, Pemerintah bisa mengeluarkan aturan tentang pembatasan produksi timah. Dengan produksi timah yang dibatasi, kegiatan pengerukan pasir timah dari dasar laut bisa dibatasi pula. Upaya tersebut dapat mengurangi tingkat perusakan ekosistem laut yang semakin lama semakin meningkat.
Selain itu, perlu diterapkan juga aturan tegas mengenai pengelolaan tanah sisa pengerukan pasir timah. Tanah yang terbuang seharusnya tidak dibiarkan begitu saja setelah pasir timah diperoleh. Tanah tersebut bisa ditenggelamkan kembali ke dasar laut dengan mengalirkannya melalui pipa. Dengan begitu tanah tidak lagi mengambang di laut dan menutupi terumbu karang sehingga ekosistem laut tidak terganggu.
Rehabilitasi lahan pertambangan dan pengelolaan limbah pasca penambangan adalah jawaban yang harus direalisasikan saat ini juga. Mudah ataupun sulit, cara ini harus dilakukan sebagai upaya untuk menyelamatkan alam Bangka Belitung, terutama ekosistem lautnya yang semakin memburuk. Kesadaran masyarakat, pemerintah, dan semua pihak yang terkait mutlak diperlukan untuk melaksanakan upaya tersebut, karena dari kesadaran itulah akan muncul sebuah tindakan.

POTRET BURAM DI BALIK KEMILAU TIMAH BANGKA BELITUNG (bagian I)

Sejarah Pertambangan Timah Bangka Belitung
Timah adalah sebuah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki simbol Sn (bahasa Latin: stannum) dan nomor atom 50. Unsur ini merupakan logam berwarna keperakan, dapat ditempa (malleable), tidak mudah teroksidasi dalam udara sehingga tahan karat, ditemukan dalam banyak campuran logam, dan digunakan untuk melapisi logam lainnya untuk mencegah karat.
Timah sudah menjadi komoditi industri negara-negara lain sejak ratusan tahun lalu. Baru sekitar abad ke-18 orang-orang Tionghoa masuk ke Indonesia dan menemukan potensi pertambangan timah yang sangat besar di Kepulauan Bangka Belitung. Sejak saat itulah orang-orang Tionghoa memulai kegiatan pertambangan timah di Bangka Belitung.
Sumber timah Indonesia merupakan bagian jalur timah Asia Tenggara (The South East Tin Belt), jalur timah terkaya di dunia yang membentang mulai dari selatan China, Thailand, Birma, Malaysia sampai Indonesia. Genetis kehadiran timah bermula dengan adanya intrusi granit yang diperkirakan ± 222 juta tahun yang lalu pada Masa Triassic Atas, Magma yang bersifat asam mengandung gas SnF4, yang melalui proses pneumatolitik hidrotermal menerobos dan mengisi celah retakan, di mana terbentuk reaksi dasar : SnF4 + H2O SnO2 + HF2. (klastik.wordpress.com)
Karena kandungan bijih timah yang kaya, Bangka Belitung seolah menjadi barang dagangan yang diperebutkan oleh berbagai bangsa. Sebut saja Inggris, Belanda dan Kesultanan Palembang. Sampai pada masa penjajahan Belanda, pertambangan timah di Pulau Bangka dikelola oleh badan usaha pemerintah kolonial “Banka Tin Winning Bedrijf” (BTW). Sedangkan di Belitung dan Singkep dikelola oleh perusahaan swasta Belanda, masing-masing Gemeeenschappelijke Mijnbouw Maatschappij Biliton (GMB) dan NV Singkep Tin Exploitatie Maatschappij (NV SITEM).
Setelah kemerdekaan RI, ketiga perusahaan Belanda tersebut dinasionalisasikan antara tahun 1953-1958. Pada tahun 1961 dibentuk Badan Pimpinan Umum Perusahaan Tambang-tambang Timah Negara (BPU PN Tambang Timah) untuk mengkoordinasikan ketiga perusahaan negara tersebut. Pada tahun 1968, ketiga perusahaan negara dan BPU tersebut digabung menjadi satu perusahaan yaitu Perusahaan Negara (PN) Tambang Timah.
Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 9 Tahun 1969 dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1969, pada tahun 1976 status PN Tambang Timah dan Proyek Peleburan Timah Mentok diubah menjadi bentuk Perusahaan Perseroan (Persero) yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia dan namanya diubah menjadi PT Tambang Timah (Persero). (hestybiliton.blogspot.com)
Hingga tahun 2007, PT. Timah (Persero) merupakan perusahaan penghasil logam timah terbesar di dunia, 35 persen saham perusahaan dimiliki oleh masyarakat dalam dan luar negeri, dan 65 persen sahamnya masih dimiliki oleh Negara Republik Indonesia. Produksi timah yang melimpah ini tentu saja mendatangkan keuntungan finansial dalam jumlah yang sangat besar.


Tabel 1. Produksi Bijih Timah Tahun 2003 - 2007

Ads Inside Post