Kamis, 20 Februari 2014

AMMONITE, Jejak Mesozoikum Tana Lotong



Ekspedisi NKRI 2013 Koridor Sulawesi di Sub Korwil 06 / Mamuju memang penuh kejutan. Jalan penghubung Kecamatan Kalukku, Bonehau, dan Kalumpang yang membuat perut bergejolak menjadi awal kejutannya. Lebih terkejut lagi karena Ardi Putra, Taufik Alzurjani, dan Juliarda Arihta (Kelompok Sosial Budaya Tim Peneliti) menjumpai sebuah ganjal pintu yang ternyata merupakan sebuah batu berhiaskan fosil langka yang mungkin hanya bisa saya temui di sini, di Desa Kalumpang, Kec. Kalumpang, Kab. Mamuju, Sulawesi Barat. Ammonite!

#*---@---*#

Ammonite (Ammonoidea, æmənaɪts) adalah sebuah kelompok hewan invertebrata laut yang sudah punah, dari sub kelas Ammonoidea dan kelas Cephalopoda. Hewan ini lebih erat kaitannya dengan coleoids hidup seperti gurita, cumi, dan sotong daripada nautiloid bercangkang seperti spesies Nautilus yang hidup saat ini.

Ilustrasi Ammonite

Nama Ammonite berasal dari kata Amon. Dalam mitologi Mesir Amon (Amun) adalah dewa bulan yang sering digambarkan memiliki tanduk domba jantan di belakang kedua telinga. Nama Ammonite terinspirasi dari tanduk domba melingkar yang bentuknya mirip dengan fosil cangkang Ammonite.
Ammonite pertama kali muncul pada Zaman Devon sekitar 395 juta tahun yang lalu dan punah pada akhir Zaman Kapur (Cretaceous) sekitar 65 juta tahun yang lalu bersamaan dengan punahnya dinosaurus. Sejak Devon Tengah keluarga ammonite banyak terendapkan, terutama ammonite pada Era Mesozoikum. Banyak yang berevolusi dengan cepat, kemudian punah dalam beberapa juta tahun. Proses evolusi yag cepat dan persebarannya yang luas menjadi dasar pertimbangan para geologist dan paleontologist untuk biostratigrafi (penentuan umur lapisan batuan berdasarkan fosil pada lapisan batuan tersebut). Ammonite merupakan fosil indeks yang baik dan dapat dihubungkan dengan skala waktu geologi secara lebih spesifik.
Ukuran cangkang ammonite sangat beragam. Beberapa ammonite yang berasal dari Kala Jura Bawah dan Jura Tengah diameternya dapat mencapai 23 cm. Ukuran lebih besar dijumpai pada batuan berumur Kapur Bawah, yaitu Titanites yang disimpan di Portland Stone of Jurrasic of Southern England yang berdiameter 53 cm. Parapuzosia seppenradensis dari Zaman Kapur merupakan salah satu jenis ammonite terbesar yang pernah ditemukan. Diameternya dapat mencapai 2 meter. Ammonite terbesar yang yang pernah ditemukan adalah Parapuzosia bradyi (Zaman Kapur) di Amerika Utara yang diameternya mencapai 137 cm.

 Fosil Ammonite bersama Praka. Darwis (Yonkav 10 Serbu)
(Dok. Praka. Darwis)
Fosil Ammonite, tampak dorsal
(Dok. Taufik Alzurjani)

Sumber :

Selasa, 18 Februari 2014

1/12, Gunung Merapi


           Masih gunungapi, namun dengan kawan perjalanan yang berbeda. Merapi, salahsatu gunungapi paling aktif di Indonesia jadi sasaran penjajakan kaki berikutnya. Latar belakang perjalanan : TIDAK ADA. Cuma mengisi waktu luang di kala senggang.Yang menganggur butuh pekerjaan, mahasiswa nganggur butuh jalan-jalan . . .

#*---@---*#

Kami, 13 orang pengangguran semester 7, memulai perjalanan dari Semarang selepas sholat Maghrib, pukul 18.30. Destinasi pertama sebelum ke Basecamp Selo Merapi adalah Terminal Boyolali. Dengan menggunakan sepeda motor, perjalanan Semarang-Boyolali dapat kami tempuh dalam waktu kurang lebih 2,5 jam melalui jalan lingkar Salatiga. Tiba di lokasi, kami memutuskan untuk istirahat dan makan malam, sambil menunggu satu lagi teman kami yang memang berdomisili di Boyolali. 
 
Makan dulu

Setelah perut terisi penuh, dan setelah membayar makanan tentunya, perjalanan kami lanjutkan menuju Basecamp Selo. Ternyata tidak semua sepeda motor yang kami gunakan dalam kondisi sehat wal afiat. Salah satu sepeda motor mogok dan harus diungsikan ke SPBU terdekat untuk kemudian diambil esok harinya. Jika dikurangi waktu merenung di SPBU tadi, perjalanan menuju Basecamp Selo ditempuh dalam waktu kurang dari 1 jam.
Hari libur rupanya jadi magnet tersendiri untuk para wisatawan penikmat pegunungan. Luar biasa ramai, sampai-sampai tidak ada tempat parkir tersisa di sekitar basecamp. Parkir terpaksa dialihkan ke salah satu rumah warga yang memang biasa menyediakan parkir untuk para pendaki. Uang Rp 5.000 per orang jadi tebusan untuk bisa masuk ke jalur pendakian Gunung Merapi. Dalam gelapnya malam, kami mulai berjalan naik dari Basecamp Selo menuju Basecamp New Selo untuk beristirahat sebelum memulai pendakian pukul 02.00. 
Tepat pukul 01.30 kami bangun dari nyamannya alas tidur kami malam itu, ponco. Nyaman tak nyaman bukan lagi masalah, yang penting bangun dan siap menuju puncak. Packing perlengkapan, peregangan seperlunya, dan berdoa sebelum berangkat, jadi persiapan singkat kami sebelum memulai perjalanan ke puncak. Karena diantara kami belum pernah ada yang mendaki Gunung Merapi, kami harus cukup waspada. Pukul 02.00 kami memulai perjalanan. Perjalanan menuju Puncak Garuda dalam kondisi normal dapat ditempuh dalam waktu 4 sampai 5 jam. 

Doa sebelum memulai pendakian
Perjalanan dinihari

Rupanya kami bukan berada dalam tingkatan normal dalam pendakian kali ini. Tiga setengah jam perjalanan dan kami masih berada di Pos 2. Entah dimana Pos 1. Mungkin karena gelap dan tanda pos yang hanya berupa patok berwarna hijau, kami tidak bisa melihatnya. Tapi ini lebih baik ketimbang tersesat dan tidak menemukan satu pun pos. Pukul 05.30 matahari pagi menyambut kami dengan cahaya oranyenya. Pemandangan yang sering saya lihat, tapi tetap saja istimewa. Salah satu kawan tiba-tiba berkata, “Ini yang biasa maneh liat di gunung den? Keren” (dia orang sunda). Senang rasanya bisa memperlihatkan orang lain hal-hal yang belum pernah mereka lihat.

Pos 2; 2534 mdpl

Baru sampai Pos 2, puncak masih jauh
 
Sedikit lagi puncak! Tapi angin mencoba menerbangkan kami dari pucuk-pucuk lereng Gunung Merapi. Perjalanan  menuju Pasar Bubrah jadi luar biasa berat. Kuatnya hembusan angin mengurungkan niat kami untuk mencapai puncak. Akhirnya hanya 7 orang yang melanjutkan misi menuju Puncak Garuda, sisanya kembali lagi ke Pos 2 untuk menyiapkan makan pagi.

Gunung Merbabu dari lereng Merapi

Hampir menyerah karena angin

Dari Pasar Bubrah menuju Puncak

Sejenak memandangi puncak

Hamparan abu vulkanik, lapilli, dan bom menghiasi jalanan dari Pasar Bubrah menuju Puncak. Kaki yang terbenam dalam abu vulkanik menjadi sensasi tersendiri dalam pendakian kali ini. Sampai saat ini Merapi adalah gunung yang paling susah payah saya daki. Semakin ke puncak abu vulkanik semakin berkurang dan berganti menjadi lava. Setelah lebih dari 1 jam memulai perjalanan dari Pos 2, akhirnya kami bertujuh tiba di puncak. Akhirnya saya bisa melihat kubah lava Merapi dengan mata kepala sendiri.
Diperkirakan bahwa bagian puncak Merapi yang ada di atas Pasarbubrah baru terbentuk mulai sekitar 2000 tahun lalu. Dengan demikian jelas bahwa tubuh gunung Merapi semakin lama semakin tinggi dan proses bertambahnya tinggi dengan cepat nampak baru beberapa ribu tahun lalu. Tubuh puncak gunung Merapi sebagai lokasi kawah aktif saat ini merupakan bagian yang paling muda dari Gunung Merapi. (sumber : http://rovicky.wordpress.com/)

 Kubah lava Merapi

Puncak Garuda

 Akhirnya, sampai di puncak
Tidak butuh waktu lama untuk melepas rasa gembira dipuncak. Angin dan kabut yang kembali menerpa membuat kami harus berbalik turun kembali ke Pos 2 untuk sarapan pagi. Salah satu kawan yang bersama saya ke puncak baru sadar ternyata kompor yang seharusnya digunakan untuk memasak terbawa sampai ke puncak. Terbukti, saat kami bergabung kembali di Pos 2, belum ada satupun bahan makanan yang sudah masak dan siap di lahap. Waktu turun akhirnya molor menjadi pukul 11.00. Panas.
Pukul 14.00 kami tiba di New Selo. Suasananya jelas lebih ramai daripada tadi malam, tapi ini benar-benar ramai. New Selo yang semalam hanya berupa tempat singgah sunyi, sekarang berubah menjadi pusat keramaian wisata di Desa Selo. Istirahat 30 menit dirasa cukup, dan kami segera kembali ke Basecamp Selo, melapor, dan angkat kaki dari Desa Selo menuju SPBU tempat kami mengungsikan sepeda motor mogok tadi malam.
 Sampai jumpa lagi, Merapi

Lelah tak terbendung lagi. Selagi sepeda motor itu diperbaiki di bengkel, prioritas nomor satu kami adalah tidur. Kami perlu istirahat sebelum memulai kembali perjalanan jauh Boyolali-Semarang. Di tengah guyuran hujan, pada pukul 16.00 kami baru memulai perjalanan menuju Semarang, dan tiba dengan selamat di Tembalang pukul 18.30.

Ads Inside Post