Senin, 03 Desember 2012

Ekspedisi Gunung Slamet (Bagian 3/3)

 
Matahari terbit dari Pos VII
Tepat seperti dugaan kami, banyak pendaki yang bermalam di Pos ini, termasuk orang Jepang yang kami temui kemarin. Sebagian dari mereka sudah memulai perjalan menuju puncak sejak pukul 05.00. Sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak, kami menyempatkan diri memakan makanan ringan untuk sekedar mengisi perut dan menambah sedikit energi untuk menapaki lereng bebatuan yang curam. Cukup 10 menit beristirahat, kami langsung mengumpulkan kembali semangat untuk menaklukkan puncak tertinggi di Jawa Tengah. 

Mendaki lereng terjal
Setelah pendakian berat selama hampir 1,5 jam ditengah hamparan batuan piroklastik dan lava, kami akhirnya sampai di puncak Gunung Slamet. Pemandangan indah dari ketinggian langsung tersaji di depan mata kami. Terlihat dengan jelas kawah Gunung Slamet yang masih aktif mengeluarkan uap dan gas. Momen ini kami manfaatkan dengan berfoto bersama mengabadikan pengalaman pengalaman luar biasa kami. 

 Kawah Gunung Slamet


Tim Ekspedisi Gunung Slamet
Tidak butuh waktu lama untuk melepas rasa gembira di puncak, kami segera kembali ke Pos V. Menurut beberapa referensi yang kami dapatkan, kawah Gunung Slamet akan mengeluarkan gas beracun saat hari semakin siang, maka dari itu kami harus segera meninggalkan kawasan kawah sebelum matahari semakin meninggi. Beberapa potong roti dan sedikit air minum kami habiskan untuk mengisi kembali tenaga menuju Pos V. Perjalanan pulang ke Pos V kami awali dengan rasa ngeri melihat betapa tinggi dan curamnya daerah yang kami lewati tadi.
Saatnya kembali ke basecamp. Hari yang semakin siang kami manfaatkan untuk sarapan dan packing. Setelah packing selesai, kami langsung berjalan menuruni lereng Gunung Slamet menuju basecamp. Tidak ada hambatan yang berarti saat perjalanan turun ini. Kurang dari 6 jam, kami semua sudah sampai di basecamp Bambangan dengan selamat.
Kendaraan dari Bambangan menuju Purbalingga sudah didapat. Yang masih menjadi masalah adalah kendaraan yang dapat kami gunakan dari Purbalingga ke Semarang hanya bus sedangkan waktu yang kami punya untuk kembali ke Purbalingga dan membeli tiket sangatlah sempit. Akhirnya berkat pertolongan salah seorang teman anggota tim (yang juga mahasiswa Teknik Geologi Unsoed), bus menuju Semarang bisa kami pesan tempat duduknya. Tempat duduk menuju Semarang kami tukar dengan biaya Rp 25.000 per orang.

Perjalanan pulang, Bambangan - Purbalingga
 
Setelah menempuh perjalanan selama 2 jam dari Bambangan menuju Purbalingga, kami sampai di Terminal Purbalingga dan menunggu kedatangan bus yang sudah kami pesan. Tepat pukul 21.00, memulai perjalanan pulang menuju Kota Atlas hingga pukul 03.30 di dalam sempitnya bus yang kami tumpangi. Sungguh perjalanan yang sangat berkesan dan luar biasa. 

Terminal Bus Purbalingga
 
Tak sabar rasanya untuk menjajaki puncak-puncak lain di bumi Indonesia. Dari sekian banyaknya hal yang kami dapatkan, ada satu hal penting yang tidak akan kami lupakan. ALAM INDONESIA ITU INDAH . .  ^_^. (selesai)

Ekspedisi Gunung Slamet (Bagian 2/3)

Perjalanan kembali dipenuhi tantangan dengan turunnya hujan, namun tidak terlallu deras. Meskipun begitu, kami perlu waspada atas segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Oleh karena itu, 3 orang dari anggota tim kami putuskan untuk berangkat lebih cepat menuju Pos V, karena hanya disitulah lokasi yang memungkinkan untuk dijadikan tempat mendirikan tenda. Sedangkan 8 orang lainnya berjalan dengan kecepatan normal dengan sesekali diguyur hujan yang tidak pasti turunnya. Ditambah lagi dengan vegetasi yang tumbuh lebat, membuat kami beberapa kali tas carrier tersangkut akar pohon yang melintang di tengah jalur.
Kedelapan orang yang berada dibelakang tadi akhirnya tiba di Pos IV pukul 14.32. Kami tidak beristirahat lama di Pos ini, hanya sekitar 8 menit. Hal ini harus kami lakukan karena menurut mitos para pendaki dan warga sekitar Gunung Slamet, di Pos IV seringkali terjadi ‘penampakan’ atau kejadian-kejadian mistis lain yang seringkali membahayakan pendaki. Ituulah alasannya kenapa Pos IV tidak pernah dijadikan sebagai tempat camp / bermalam.

 Pos IV

Longsor di tebing-tebing sekitar jalur pendakian mewarnai perjalanan kami dari Pos IV menuju Pos V. Hal ini seolah-olah menjadi peringatan bagi kami berhati-hati dalam melangkah di sepanjang jalur ini. Jalan yang licin karena hujan menjadi ancaman tambahan kami. Sempat beberapa kali kami mengenakan dan melepas ponco karena hujan yang turun kadang deras kadang reda. Akhirnya dalam waktu 40 menit kami berhasil mencapai Pos V dimana kami akan bermalam sampai pendakian puncak esok hari.

 Pos V Mata Air

Alangkah beruntungnya kami saat mengetahui bahwa tidak ada pendaki lain yang menempati gubuk Pos V. Kami bisa bermalam di Pos V tanpa harus kesulitan mendirikan tenda. Segera setelah masuk ke gubuk, sebagian dari kami langsung menyiapkan perlegkapan untuk memasak hidangan makan malam. Sebagian lain ada yang menunaikan shalat, dan ada juga yang mengambil air dari mata sungai untuk minum dan keperluan memasak. Tas carrier di dalam gubuk kami rapihkan dan kami tata agar nyaman digunakan untuk beristirahat malam nanti.
Saat hari semakin gelap rupanya pendaki yang datang ke Pos V semakin banyak. Karena gubuk sudah kami tempati, para pendaki tersebut harus mencari lokasi lain untuk bermalam. Bahkan saking penuhnya, beberapa pendaki memaksakan diri untuk lanjut ke Pos VII. Tempat lain yang dapat dijadikan camp, namun masih sekitar 1 jam perjalanan dari Pos V. Pos V yang siang tadi sepi, berubah layaknya perkemahan Pramuka yang setiap tendanya saling berdekatan satu sama lain.
Pendakian menuju puncak kami rencakan dimulai pagi sebelum subuh. Oleh karena itu, kami harus tidur lebih awal supaya target waktu bisa tercapai, tapi tetap tidak mengurangi waktu isrtirahat kami. Sebelum tidur kami sepakat untuk bangun pukul 3 pagi.
Pagi pun tiba, kami bangun pukul 3 pagi. Kami memang tidak terlambat bangun, namun persiapan setelah bangun menuju perjalanan pendakian yang cukup lama membuat kami terlambat hingga 2 jam. Perlengkapan pendakian yang harusnya sudah siap kami bawa tidak bisa kami temukan karena kondisi penerangan yang terbatas. Tepat pukul 05.00 kami siap dengan semua perlengkapan menuju puncak Gunung Slamet.

Berangkat menuju puncak

Perjalanan dari Pos V menuju Pos VI tidak memakan waktu lama. Hanya perlu waktu sekitar 15 menit kami sudah berada di Pos VI. Kami tidak terlalu lama beristirahat di pos ini. Selain karena luas lokasinya yang sempit, kami juga belu terlalu lelah. Tidak ada hal menarik di Pos ini, termasuk pemandangan yang bisa terlihat dari sini. Pos ini lebih cocok di sebut sebagai checkpoint biasa daripada pos. Setelah 5 menit beristirahat, kami melanjutkan perjalanan kembali menuju pos terakhir, Pos VII.

Pos VI Pondok Sanghyang Jampang

Semakin dekat ke daerah puncak, vegetasi yang kami temui semakin jarang. Dominasi pohon-pohon besar dan berakar gantung menjulur panjang mulai digantikan tanaman berdaun jarang dan semak-semak. Pemandangan yang bisa terlihat dari posisi ini mulai tampak memukau di tengah pancaran sinar matahari pagi. Tiga puluh lima menit berlalu dan akhirnya kami tiba di Pos VII. (bersambung . . .)

 Pos VII

Sabtu, 28 Juli 2012

Ekspedisi Gunung Slamet (Bagian 1/3)


Ekspedisi Slamet Anggota Muda Mapeagi dimulai 5 April 2012. Kegiatan ini merupakan salah satu agenda wajib bagi Anggota Muda Mapeagi dalam rangka memenuhi persyaratan menjadi anggota. Selain sebagai syarat, ekspedisi ini digunakan juga sebagai sarana untuk mengaplikasikan seluruh ilmu yang didapatkan anggota muda selama masa Pendidikan Dasar (Diksar).
Perjalanan menuju Gunung Slamet kami mulai dengan perjalanan dari Semarang menuju Purbalingga. Dengan Rp 30.000,- kami sudah bisa duduk dengan nyaman selama 8 jam di dalam bus ekonomi jurusan Semarang – Purwokerto. Perjalanan yang semula diprediksi hanya memakan waktu 6 jam bertambah karena kemacetan parah sepanjang jalan Ungaran – Bawen.
Lamanya perjalanan membuat kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur. Hingga kami akhirnya terbangun saat tiba di Purbalingga, lebih tepatnya di depan Mabes Polres Purbalingga. Namun ternyata rencana beralih ke moda transportasi lain untuk mencapai basecamp Bambangan harus ditunda karena malam sudah terlalu larut. Angkutan umum menuju Bambangan baru ada sekitar pukul 03.00. Untungnya ditengah kantuk dan lelah pasca perjalanan panjang, seorang petugas polisi menawari kami untuk beristirahat di musholla mabes. Atas izin petugas piket malam itu, kami diperbolehkan untuk beristirahat sampai angkutan umum yang kami sewa datang menjemput.


Polres Purbalingga

Sesuai rencana, kami akhirnya berangkat dari Mabes Polres Purbalingga pukul 03.00. Sedikit perdebatan mengenai tarif antara kami dengan supir sempat menghambat perjalanan selama beberapa menit. Kami akhirnya setuju untuk membayar Rp. 30.000 per orang untuk sampai di basecamp. Kami pun tiba di basecamp Bambangan pada waktu yang tepat, pukul 05.00. Sebelum perjalanan pendakian kami mulai pukul 07.15, waktu yang ada kami manfaatkan untuk beristirahat, sarapan, dan packing.


Tim ekspedisi G. Slamet

Perjalanan pendakian pun kami mulai. TIdak lupa, kami melakukan registrasi di petugas basecamp. Cukup Rp 5.000 per orang yang kami rogoh dari kocek. Pos I menjadi tujuan pertama kami. Track tidak terlalu curam, namun jauhnya jarak membuat kami sedikit lelah. Ini biasa terjadi karena saat itu, tubuh belum 100 % menyesuaikan keadaannya dengan aktivtas pendakian. Sempat beberapa kali kami berhenti untuk istirahat karena lelah sambil menikmati pemandangan morfologi kaki Gunung Slamet dan vegetasi yang menyelimutinya. Akhirnya dalam waktu 90 menit kami berhasil sampai di Pos I.


Puncak G. Slamet

Pos 1, Pondok Gembirung

Pos I ini selain sebagai tempat istirahat, juga merupakan penanda perbatasan antara kawasan vegetasi pinus dan semak dengan kawasan hutan yang lebih banyak didominasi pohon-pohon besar. Selain itu, mulai dari Pos I ini juga track akan bertambah curam dan menantang. Setelah beristirahat selama 15 menit, kami memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan ke Pos II.
 Sesuai dengan informasi yang kami dapatkan tentang pendakian Gunung Slamet, track menuju Pos II dari Pos I memiliki kelerengan yang cukup curam. Jarak tempuhnya memang lebih pendek daripada perjalanan basecamp – Pos I, namun karena curam waktu tempuh menjadi lebih lama. Kami lebih sering berisitirahat di tengah perjalanan dibandingkan perjalanan basecamp ­– Pos I. Alhasil, Pos II baru bisa dicapai pada pukul 10.30 dengan lama perjalanan sekitar 90 menit.


Pos 2

Tiga puluh menit kemudian, kami melanjutkan perjalanan kembali menuju Pos III. Ternyata track yang kami lalui kali ini lebih curam dari sebelumnya. Akan tetapi, kondisi tubuh yang sudah mulai beradaptasi dengan aktivtas pendakian membuat kami lebih sedikit berisitirahat dibandingkan perjalanan menuju Pos II. Selain itu, vegetasi yang tumbuh lebat dapat kami manfaatkan untuk berpegangan saat melewati bagian jalur yang sulit sehingga perjalanan menjadi lebih mudah. Hanya dalam waktu 1 jam 2 menit, kami sudah tiba di Pos III, lebih cepat dari perkiraan.


Pos 3, Pondok Cemara

Karena hari sudah menunjukkan pukul 12.02, kami memilih untuk beristirahat makan siang di pos tersebut. Sebagian dari anggota tim ada yang duduk-duduk menata kembali isi tas carrier yang sudah terasa tidak nyaman di punggung. Sebagian lain megeluarkan logistik dan mempersiapkan peralatan untuk memasak makanan makan siang. Dengan keahlian memasak seadanya, anggota tim laki-laki hanya bisa memasak nasi dan membantu memotong-motong bahan makanan, sedangkan untuk urusan ‘inti’-nya kami serahkan kepada anggota tim yang perempuan.


Memasak hidangan makan siang di pos 3

Di pos ini kami sempat bertemu dengan seorang pendaki asal Jepang. Kami tidak sempat berbincang-bincang dengan pendaki tersebut, jadi kami tidak mengetahui namanya. Dia ditemani oleh seorang porter yang orang Indonesia. Ditengah istirahatnya, dia menuliskan sesuatu di sebuah buku, mungkin itu buku catatan perjalanannya. Dia hanya beristirahat sekitar 30 menit, sedangkan kami baru melanjutkan perjalanan kembali 75 menit kemudian. (bersambung . . .)

Rabu, 14 Maret 2012

Geologi dan Fotografi

Sebagai orang yang sering melakukan pengamatan di lapangan, geologist (sebutan untuk ahli geologi) menggunakan foto sebagai bukti dari hasil pengamatannya. Dulu sebelum foto lazim digunakan, para geologist masih mengandalkan kemampuan menggambar sketsa mereka untuk memberikan informasi lapangan dalam bentuk visual. Bentuk sketsa ini tentu saja sedikit merepotkan karena tidak semua orang bisa menggambar dengan baik
Foto dimanfaatkan untuk memberikan informasi mengenai data-data lapangan yang bersifat visual. Sebagai contoh, sebuah sesar turun dikabarkan tersingkap di sebuah perbukitan di sebelah utara kampus Undip Tembalang. Sebagai bukti visual keberadaan sesar, sang pengamat kemudian mengambil foto yang menggambarkan kondisi sesar.
Tidak hanya menggambarkan kondisi objek pengamatan, foto juga harus jelas dan informatif. Jika foto sesar tadi hanya memperlihatkan sesar dari jarak 100 meter, tentu saja informasi mengenai keberadaan sesar tersebut tidak akan tersampaikan hanya lewat foto. Akan lebih baik jika foto diambil dari jarak yang cukup dekat sehingga akan terlihat jelas struktur sesar yang dicari, jenis litologi, dan kondisi morfologi daerah sekitarnya.
Foto dalam bidang geologi pun berkembang dan tidak hanya digunakan sebagai bukti lapangan. Geologifoto adalah salah satu cabang dari ilmu geologi yang memanfaatkan foto udara sebagai media penginderaan jauh. Dari foto udara ini, geologist bisa memperkirakan bentuk morfologi permukaannya, litologi, dan pola-pola yang terbentuk dari berbagai macam unsur pengontrol. Geologifoto ini merupakan pemanfaatan teknologi foto yang mudah dan sederhana, namun dapat menghasilkan informasi yang tidak kalah lengkap dengan pengamatan lapangan langsung.
Karena foto sudah sangat melekat dengan pekerjaan seorang geologist, tak jarang geologist juga memiliki hobi di bidang fotografi. Bentuk-bentuk muka bumi yang menarik dan menakjubkan membuat geologist enggan kehilangan saat-saat luar biasa mereka di lapangan. Foto menjadi salah satu obat untuk mengatasi rasa enggan tersebut. Dengan foto, geologist bisa menyimpan informasi lapangan sekaligus menuangkan kecintaannya pada dunia fotografi.
Foto dalam bidang geologi sudah mulai beralih dari sekedar sumber informasi menjadi karya seni. Tidak hanya informatif, foto juga dituntut untuk memiliki nilai-nilai estetika tertentu sehingga tampak indah dan menarik untuk diamati. Karena sadar akan hal tersebut, maka semakin marak bermunculan lomba-lomba fotografi di bidang geologi yang menonjolkan keindahan bentuk muka bumi dan makna yang terkandung di dalamnya. Interpretasi data lapangan yang semula membosankan telah berkembang menjadi wadah kreatifitas para geologist yang menggeluti dunia fotografi.
Geologi dan fotografi dapat diibaratkan sebagai cabai dan tomat yang memiliki rasa masing-masing, namun akan menciptakan rasa yang khas jika keduanya diracik menjadi sambal. Asimilasi aspek-aspek seni fotografi ke dalam bidang ilmu kebumian telah membawa nuansa baru dalam keberadaannya. Bumi dan segala isinya bukan lagi objek yang harus dipelajari secara serius dan mendalam, tetapi telah bertransformasi menjadi sebuah karya seni yang sangat mengagumkan.


Minggu, 05 Februari 2012

Geology In The Field (lanjutan)

 Kegiatan geologi lapangan tidak hanya membutuhkan pakaian saja. Ada banyak perlegkapan lain yang dibutuhkan selama kita berada di lapangan. Semua perlengkapan tersebut ke dalam tas agar mudah dibawa kemana-mana. Nah, kali ini kita akan melanjutkan pembahasan mengenai isi dalam tas selama kegiatan geologi lapangan. Apa sajakah yang harus ada di dalam tas kita?? Ini dia pembahasannya . .

#*---@---*#

Kompas Geologi

Kompas, klinometer, dan “hand level” merupakan alat-alat yang dipakai dalam berbagai kegiatan survei, dan dapat digunakan untuk mengukur kedudukan unsur-unsur struktur geologi. Kompas geologi merupakan kombinasi dari ketiga fungsi alat tersebut.
 
Peta Dasar

Peta dasar atau potret udara gunanya untuk mengetahui gambaran secara garis besar daerah yang akan kita selidiki, sehingga memudahkan penelitian lapangan baik morfologi, litologi, struktur dll. Selain itu peta dasar digunakan untuk menentukan lokasi dan pengeplotan data, umumnya yang digunakan adalah peta topgrafi/kontur.





Palu Batuan Beku (Pick Point)

Palu batuan beku yaitu alat yang umum digunakan oleh para peneliti untuk mengambil sampel batuan, Palu batuan beku berbentuk runcing ini umumnya dipakai di daerah batuan keras (batuan beku dan metamorf)



Palu Batuan Sedimen (Chisel Point)

Jenis palu geologi yang digunakan salah satunya adalah palu batuan sedimen (chisel point). Bentuknya berujung datar seperti pahat, umumnya dipakai untuk batuan yang berlapis (batuan sedimen) dan mengambil fosil.


Lup
 

Lup atau kaca pembesar adalah sebuah lensa cembung yang mempunyai titik fokus yang dekat dengan lensanya. Benda yang akan diperbesar terletak di dalam titik fokus lup itu atau jarak benda ke lensa lup tersebut lebih kecil dibandingkan jarak titik fokus lup ke lensa lup tersebut. Di geologi, lup digunakan untuk mengamati batuan misalnya mineral maupun fosil., lensa pembesar yang umum dipakai adalah perbesaran 8 sampai 20 kali

Alat Ukur 
Alat ukur yang digunakan dalam kegiatan lapangan biasanya menggunakan meteran 50 meter. Berbentuk seperti roll kabel agar praktis dibawa. Biasanya digunakan untuk mengukur jarak litasan dalam suatu daerah ataupun mengukur ketebalan lapisan.



Komparator
Komparator dipakai untuk membantu dalam deskripsi batuan, misalnya komparator butir, pemilahan (sorting) atau prosentase komposisi mineral, maupun tabel-tabel determinasi batuan baik batuan beku, batuan sedimen dan batuan metamorf, dan lain sebagainya.
  

Larutan HCl

 Larutan HCl digunakan untuk menguji kadar karbonat, umumnya 0,1 N. Larutan HCl ini sangat dibutuhkan, terutama dalam identifikasi jenis batuan sedimen.

Kantong Sampel

Kantong contoh batuan (kantong sampel) dapat digunakan kantong plastik yang kuat atau kantong jenis lain yang dapat dipakai untuk membungkus contoh-contoh batuan dengan ukuran yang baik yaitu kurang lebih (13x9x3) cm. Sedangkan kertas label digunakan untuk memberi kode pada tiap contoh batuan sehingga mudah untuk dibedakan. Dapat juga menggunakan "permanent spidol" untuk meberi kode langsung pada kantong.

Buku Catatan Lapangan
Buku catatan lapangan atau biasa disingkat “BCL” bisa dibilang sebagai perlengkapan nomor satu yang tidak boleh lupa dibawa saat ke lapangan. Semua hal-hal penting di lapangan di catat di buku ini. Mulai dari data-data hasil pengukuran, sketsa, deskripsi, dan lain-lain ada di dalamnya. Beberapa orang menganggap buku catatan lapangan adalah nyawa seorang geologist. Jika buku ini hilang atau rusak, data-data lapangan yang sudah susah payah diperoleh pun akan hilang dan bisa dipastikan pekerjaan akan berantakan.

#*---@---*#

Sekarang sudah siap untuk ke lapangan. Perlengkapan di atas tidak hanya menambah beban berat tas saja, tai memang benar-benar diperlukan di lapangan. Semoga sukses dan keep safety . . ^_^


Sumber




Ads Inside Post