Rabu, 25 Juni 2014

Si Kembar Sindoro-Sumbing (Bagian 1)


Setelah perjalanan ke Gunung Merapi November lalu, saya akhirnya menyadari bahwa mendaki adalah hobi saya. Tidak bisa dipungkiri lagi. Kali ini mendaki bukan Cuma jadi kegiatan wajib saya sebagai anggota Mahasiswa Pecinta Alam Teknik Geologi (Mapeagi) Universitas Diponegoro. Rasa “ketagihan”-nya mulai terasa. Seolah menggaruk rasa gatal bagian pungung yang sulit dijangkau, akhirnya saya bersama teman-teman dari Merpati Putih Undip merencanakan perjalanan ke salah satu pasangan gunung kembar yang cukup tersohor di kalangan para pendaki, Gunung Sindoro.

#*---@---*#

Semarang - Kledung
Empat belas orang muda-mudi penggiat pencak silat harus menyisihkan tanggal 9-11 Mei di rutinitas mereka untuk mendaki Gunung Sindoro yang tingginya mencapai 3153 meter di atas permukaan laut. Hanya 14 orang, dari yang semula direncanakan 22 orang. Mungkin rutinitas, atau mungkin enggan dan malas yang membuat mereka mengurungkan niat untuk berjalan sedikit lebih berat untuk mencapai puncak. Persiapan sebelum berangkat kami lakukan di sekretariat kami di Student Center Universitas Diponegoro. Pukul 18.00 persiapan selesai dan kami langsung bertolak menuju terminal bayangan (sebut saja begitu) Sukun di daerah Banyumanik, Kota Semarang. 
Penantian singkat selama 45 menit membuahkan hasil. Kami akhirnya naik bus ekonomi Maju Makmur jurusan Purwokerto-Semarang via Wonosobo yang ternyata sudah penuh sesak. Mau bagaimana lagi, pilihan kami cuma naik atau mengurungkan niat untuk pergi mendaki. Dengan ongkos Rp 25.000 plus sedikit kesabaran menahan kantuk dan berdiri tegak sepanjang Semarang-Temanggung, kami pun tiba basecamp jalur pendakian Kledung di Desa Kledung yang letaknya hanya 20 meter ke arah utara dari jalan utama Wonosobo-Temanggung.
 
Menunggu bus

Rupanya pendaki yang mendaki hari itu cukup ramai. Selain kami ada 20 lebih pendaki yang sudah lebih dahulu memulai perjalanan di hari sebelumnya. Saya bisa membayangkan bagaimana ramainya seandainya jumlah pendaki bertambah lagi esok hari. Kami membayar biaya registrasi sebesaar Rp 5.000 dan kemudian beristirahat di balai desa yang berada tepat di sebelah basecamp.

Basecamp Kledung


Pendakian
Membongkar isi tas ransel raksasa berukuran paling tidak 50 liter dipagi hari memang agak menyebalkan. Terkadang semua barang yang kita masukkan saat packing pertama kali tiba-tiba tidak bisa pas masuk seperti kondisi semula. Waktu yang kami butuhkan untuk persiapan pagi pun jadi sedikit lebih lama. Setelah sarapan di Warung Makan Susy yang merupakan satu-satunya warung makan yang buka pagi itu, kami memulai perjalanan mendaki tepat pukul 09.00.

Mengemas

Makan bersama di Warung Makan "Susy"

Sindoro dari kaca Warung Makan "Susy"

Keindahan gunungapi bertipe stratovolcano ini begitu menggoda. Tidak seperti “saudara kembar”-nya, Sindoro terlihat lebih “mulus”. Hal ini terjadi karena kegiatan vulkanisme di Gunung Sindoro lebih muda daripada Gunung Sumbing. Semula kami khawatir gunung ini mengalami kenaikan aktifitas vulkanisme. Pasalnya pada 2011, aktifitas kegempaan Gunung Sindoro sempat meningkat dan diisukan meningkat lagi bebera waktu lalu. Menurut sejarah, letusan terakhir terjadi lebih dari 40 tahun yang lalu, tepatnya bulan November 1970 (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Sindara).
Seperti dugaan saya, perjalanan dari Basecamp menuju Pos 1 adalah perjalanan paling berat. Penyesuaian tubuh di bagian ini agak lama. Beberapa orang ada yang mulai mengeluh sakit perut, mual, dan sakit kaki. Kira-kira dua jam yang dibutuhkan untuk sampai ke Pos 1. Cukup melelahkan. Mungkin karena cuaca yang demikian terik dan suhu yang belum menurun drastis. Hampir 20 menit berhenti, perjalanan kami lanjutkan menuju Pos 2. Setelah 2 jam berjalan, kami akhirnya tiba di Pos 2. Cukup dengan makan makanan ringan seadanya, kaki kami harus meniti kembali langkah-langkah kecil menuju Pos 3. Kali ini jalur pendakian mulai berubah cukup terjal.
 
Menuju Pos 1


Beristirahat di Pos 1
Pos 2

           Tepat pukul 16.00 kami tiba di Pos 3. Lahan yang landai dan cukup luas ini menjadi lokasi yang cocok untuk mendirikan tenda sembari menunggu waktu untuk summit attack malam nanti. Tepat seperti dugaan saya, semakin gelap semakin banyak para pendaki yang singgah di Pos 3. Tiga tenda yang kami dirikan dan canda tawa ala mahasiswa menjaga kami agar tetap hangat dan bisa beristirahat hingga dinihari. 

Wanita-wanita tangguh, menuju Pos 3
Pos 3
Memasak makan malam

Summit Attack
Pukul 01.00, waktunya persiapan summit attack. Rupanya salah seorang dari kami mengeluh mual di perutnya. Satu orang lagi baru mengeluh sakit saat perjalanan sudah kami mulai sekitar 50 meter. Melihat keadaan tersebut, dua orang yang masih sehat memutuskan untuk menunggui dua orang yang sakit untuk menghindari masalah yang lebih buruk. Sisa 10 orang melanjutkan perjalanan kembali menyusuri gelapnya hutan lamtoro dan sabana menuju puncak.
Kondisi cuaca yang berangin dan kering membuat hawa dingin terasa lebih menusuk. Angin kencang menjadi alasan kenapa sepanjang jalur Pos 3 sampai puncak para pendaki tidak diperbolehkan untuk mendirikan tenda meskipun terdapat banyak lahan datar. Sesekali kami berhenti, namun segera bangkit lagi karena tidak kuat menahan dingin. Lebih baik jalan terus daripada diam dan menahan dingin. Kegelapan membuat kami sulit memperkirakan seberapa jauh lagi kami mencapai puncak. Hampir 3 jam berjalan, tiba-tiba lereng terjal menghilang, hanya ada gelap total di depan mata. Ditengah banyaknya singkapan lava andesit, saya menyadari bahwa kami semakin dekat ke puncak. Saat uap berhembus dan bau belerang menyengat menyusup ke hidung, barulah kami sadar kami benar0benar mencapai puncak. Tapi ini masih terlalu pagi. Ya, pukul 04.30.
Masih terlalu pagi dan belum terlihat apa-apa. Entah kami harus gembira atau menyesal. Tapi daripada memikirkan itu, kami harus bertahan dulu dari hembusan angin kencang sampai matahari muncul. Kami berkumpul dan berlindung di balik semak belukar untuk sementara waktu. Hingga akhirnya fajar mulai memancar pada pukul 05.37. Lagi, pemandangan matahari terbit yang menakjubkan saya lihat sekali lagi. Puncak Gunung Sumbing, Gunung Merbabu, dan Gunung Ungaran, bahkan Gunung Lawu mulai muncul di balik tebalnya kabut pagi yang menyelimuti. Kawah Gunung Sindoro yang menawan perlahan tersingkap dengan uap membumbung menyelimuti dasarnya. Pemandangan langka yang hanya bisa kami nikmati sampai pukul 07.10. Sebelum terik membakar kulit lebih lama, kami segera bergerak turun kembali ke Pos 3 sambil menikmati indahnya bunga Edelweis yang bertebaran di sepanjang jalur turun.

Menyambut mentari

Gunung Sumbing dari puncak Gunung Sindoro

Kawah yang mengepul

Foto bersama
 
Edelweis

Saya terkejut saat mengetahui ternyata salah seorang dari 2 orang yang sakit semalam mengalami hipotermia ringan. Untungnya dua orang sehat yang menemani sudah paham cara penanganannya. Sambil memasak dan bercanda, kami membicarakan hal-hal yang terjadi di Pos 3 maupun di puncak. Menghabiskan makanan dan megemas barang-barang rupanya membutuhkan waktu cukup lama. Baru pada pukul 12.50 kami berangkat turun menuju basecamp.
Sebelum turun

Kami tiba di basecamp tepat saat adzan maghrib berkumandang. Istirahat sebentar, makan, dan shalat kami lakukan sebelum bersiap meninggalkan basecamp menuju Semarang. Hampir 1 jam menunggu akhirnya muncul bus Maju Makmur jurusan Semarang. Ongkos yang sama namun kondisi yang lebih baik, kami duduk manis hingga terlelap, menikmati rasa lelah pasca pendakian yang khas. Rasa lelah yang melegakan.

Ads Inside Post