Senin, 23 Maret 2015

Rasa(h) Mbayar



Kalau orang Jawa bilang, kue paling enak itu yang rasa cokelat, tapi lebih enak lagi kue rasa(h) mbayar alias tidak usaha bayar alias gratis.


Siapa yang tidak mau makanan gratis. Kalaupun tidak mau makan di tempat, makanan akan dibungkus lalu dibawa pulang. Anda yang masih mahasiswa atau pernah menjadi mahasiswa pasti pernah melakukannya. Tidak bisa dilewatkan. Makanan gratis adalah solusi untuk menghemat uang saku yang kian hari kian menipis.
Di kehidupan seorang mahasiswa, makanan gratis diperoleh pada momen-momen tertentu. Misalnya saja, saat ibu atau bapak kost mengadakan hajatan, kita akan diundang untuk makan bersama, bahkan mendapatkan bungkusan makanan ringan untuk dibawa pulang. Makanan gratis bisa juga datang dari teman-teman anda yang berulangtahun atau yang baru saja kembali dari kampung halaman.
Saat masih menempuh semester 2-7, saya dan teman-teman kuliah Teknik Geologi Undip biasanya mengadakan acara traktiran ulangtahun bertajuk “Pesta Rakyat”. Kami akan “menyerang” sebuah warung makan dengan membabi-buta. Makanan, minuman, cemilan, semuanya boleh dimakan. Pernah sekali waktu warung makan yang kami “serang” langsung tutup saat kami selesai “berpesta”. Dalam pesta rakyat ini tagihan akan dibayar orang-orang yang berulangtahun pada bulan yang sama. Jadi dalam satu bulan hanya ada satu Pesta Rakyat.
Sekarang, pesta rakyat jarang diadakan. Ya mau bagaimana, sebagian teman-teman saya sudah lulus, kembali ke rumahnya, mencari pekerjaan yang cocok. Sebagian kecil dari mereka sudah mendapat pekerjaan, bahkan salah satunya sudah menerima gaji pertama. Untuk teman saya yang satu ini, dia sangat baik hati dan berinisiatif untuk mengadakan syukuran atas gaji pertamanya minggu lalu. Makanan gratis lagi.
Meski begitu syukuran gaji pertama ini begitu mengganggu pikiran saya. Kapan ya saya bisa mentraktir teman-teman saya seperti ini? Saya harus segera lulus dan punya penghasilan sendiri . . .
Pesta rakyat dalam rangka gaji pertama (20/3)



Rabu, 18 Maret 2015

Kopi Oh Kopi



Hitam, pahit, hangat, tersaji dalam gelas dan cangkir lengkap dengan uap yang mengepul. Apalagi kalau bukan kopi.
Meskipun di rumah, ayah saya selalu ngopi tiap pagi, saya tidak pernah sekali pun ikut-ikutan. Selain karena ibu selalu membuatkan susu, saya memang tidak tertarik dengan rasa kopi. Saya pernah mencoba minum kopi dari gelas ayah, ternyata kopi tidak enak. Minuman pahit yang cuma bikin gigi kuning, pikir saya.
Sikap anti saya terhadap kopi rupanya tidak berlangsung lama. Masa-masa sibuk kuliah, saat begadang membuat tugas, perlahan kopi mulai menggoda. Awalnya supaya melek, namun semakin lama rasa pahit kopi jadi semakin familiar dan terasa enak. Selain itu, setiap mendaki gunung, kopi selalu jadi minuman penghangat saat berada di puncak. Alhasil, saya mulai sering minum kopi, terutama pagi hari.
Saat empat bulan tinggal di Mamuju tahun 2013 lalu, hampir setiap pagi saya disuguhi kopi sebelum memulai aktivitas. Setiap saya bertamu ke rumah warga pun saya selalu disuguhi kopi. Dari mulai kopi instan biasa sampai kopi Toraja yang terkenal saya cicipi, semuanya sudah saya coba. Yang paling berkesan adalah ketika saya mencoba kopi Toraja saat diperjalanan dari Mamuju menuju Tana Toraja. Minum kopi hitam yang harum sekaligus disuguhi pemandangan pegunungan terjal hijau nan luas. Menakjubkan.

Secangkir kopi di Enrekang

Sekembalinya dari Mamuju saya mulai sedikit ketagihan minum kopi. Saya mulai mencoba berbagai jenis kopi lain, misalnya saja kopi Lampung dan kopi Bali. Enak, kopi memang enak. Meski begitu saya tidak pernah mengerti apa perbedaan kopi Robusta dan Arabika, atau rasa khas yang membedakan kopi satu dengan yang kopi lainnya. Saya penikmat kopi, bukan pecinta kopi.
Karena sudah terlalu sering minum kopi, hampir setiap hari, saya memutuskan untuk sedikit menguranginya. Saya hanya minum kopi saat kepala mumet atau dii pagi hari saat hendak melakukan aktivitas yang membutuhkan konsentrasi tinggi. Saya takut ketergantungan. Belum lagi jika ingat bahwa terlalu banyak minum kopi dapat mempengaruhi sistem kardiovaskuler, menyebabkan konstipasi, gangguan pada mata, peningkatan asam lambung (baca http://kesehatan96.blogspot.com/2013/03/efek-buruk-dari-minum-kopi.html) Sesuatu yang berlebihan tidak baik bukan?



Jumat, 06 Maret 2015

Travelling = Pose + Foto


Mari kita buat list perlengkapan apa saja yang akan dibawa jika kita hendak pergi travelling. Baju, jaket, sepatu, makanan, jas hujan, dompet dan seluruh isinya, semua sudah masuk ke dalam ransel. Eh, ada yang kurang? Masih ada? Hmmmm ya, kamera . . .

Kamera, tidak boleh tertinggal


Kamera adalah barang nomor satu yang tidak boleh tertinggal saat travelling. Sekarang orang tidak lagi segan membawa kamera saku bahkan kamera DSLR lengkap dengan lensa besar, tripod, dan kawan-kawannya. Tak ada kamera, ponsel berkamera pun jadi.
Kehadiran kamera sebagai pusaka wajib dalam travelling membuat kegemaran orang untuk berfoto dan mengabadikan momen-momen saat jalan-jalan meningkat. Coba saja perhatikan, kemana pun anda pergi jalan-jalan, pasti akan selalu ada orang-orang berpose menantang lensa kamera. Foto di depan papan nama tempat terkenal, di kawah gunung api, di atas tebing, foto selfie bersama pasangan, atau bahkan foto dengan pose-pose aneh, jungkir-jungkir, lompat-lompat, handstand, apapun yang penting pose dan foto. Tak jarang waktu untuk berfoto lebih lama ketimbang waktu untuk menikmati suasananya.

Bersiap untuk pose


Orang yang berprofesi sebagai fotografer atau hanya sekedar hobi fotografi sudah barang tentu akan lebih sering jeprat-jepret, menangkap momen-momen dan objek-objek terbaik dengan kameranya. Foto yang mereka hasilkan mereka jadikan koleksi pribadi atau terkadang diikutsertakan dalam kontes fotografi. Lain cerita jika orang itu bukan fotografer. Kebanyakan orang-orang ini lebih menyukai berfoto sendiri atau pun selfie di depan objek atau di tempat terkenal dan unik. Foto menjadi sarana dokumentasi dan sedikit pamer untuk menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah berkunjung ke sana. Lebih lanjut, hasil dokumentasi tersebut biasa diunggah ke media sosial untuk berbagi pengalaman dengan teman dan followers. Itu tren sekarang.
Tapi sepertinya tren itu kurang berlaku buat saya. Saya yang agak malu-malu kalau berfoto sendirian lebih memilih mengambil gambar orang atau objek lain. Saya lebih senang menikmati suasana dan hiruk pikuk sekitar, kemudian mengabadikannya.
Saya teringat saat saya pergi jalan-jalan ke Vihara Buddhagaya Watugong Semarang. Waktu itu saya sempat memperlihatkan foto kemegahan bangunan pagodanya kepada pacar saya. Dia tidak percaya kalau saya benar-benar berkunjung kesana. Saking tidak percayanya, sampai-sampai dia menyangka saya mencari foto pagoda tersebut dengan bantuan “si mbah”. Agak sulit meyakinkannya. Maklum, kami hanya bisa berbagi foto karena kami tinggal di kota yang berbeda. Saya jadi berpikir, “Sepenting itukah berfoto saat jalan-jalan?”.
Tidak ada yang salah dengan ­travelling yang penuh dengan pose dan foto. Dokumentasi, kenang-kenangan, apa pun itu, memang diperlukan saat jalan-jalan. Namun, alangkah lebih baik jika kita mengurangi sedikit waktu berfoto kita untuk merasakan keindahan  dan suasana destinasi jalan-jalan kita. Cobalah.

Ads Inside Post