Senin, 04 November 2013

Melawan Nganggur



Saya baru menyadarinya . . .
Dalam sepekan, saya cuma menghabiskan 4 hari berada di kampus. Jika dihitung secara lebih teliti, hanya 15 jam yang saya gunakan untuk belajar di kampus, 6 jam untuk berolahraga, dan 42 jam untuk tidur, dari total 168 jam waktu dalam sepekan. Luar biasa! Rasanya seperti liburan yang super panjang di Semarang selama 6 bulan. Dibandingkan semester lalu, di semester ini saya memiliki banyak sekali waktu luang. Meskipun semester genap kemarin saya cuti, tapi kembali ke kampus dengan kondisi demikian membuat saya sedikit kebingungan menghadapi “fenomena menganggur” ini.

 
Menganggur, Jangan Ditiru!
 (Sumber : dzofar.com)
Fenomena semacam ini sebetulnya wajar terjadi di kalangan mahasiswa, apalagi yang sudah menginjak “semester tua”. Kesibukan rutinitas akademik di kampus memang berkurang. Kuliah yang diikuti mungkin hanya sebatas mata kuliah pilihan dan beberapa mata kuliah perbaikan. Bahkan ada juga yang mengambil mata kuliah yang dia sebenarnya sudah mendapatkan nilai B untuk perbaikan. Alasannya, supaya tidak nganggur.
Alasan utama kenapa nganggur ini bisa terjadi adalah karena kita tidak tahu apa yang hendak kita lakukan. Rutinitas yang menumpuk dalam rentang waktu yang lama membuat kita terbiasa akan hal tersebut. Saat menghadapi yang tidak biasa, kita akan merasa bingung dan “aneh” terhadap kondisi yang baru ini. Mari kita bayangkan seseorang pria yang biasa menggosok gigi menggunakan tangan kanan sejak kecil. Saat dewasa, pria ini ingin mencoba menggunakan tangan kiri untuk menggosok gigi. Akan terasa aneh bukan, keluar dari kebiasaan.
Saya, anda, dan kita semua para mahasiswa yang tengah mengalami masalah kengangguran sebenarnya punya tenaga, namun tidak punya kemauan untuk bergerak. Tegaskan apa yang bisa dan mau kita lakukan! Tenaga ini bisa kita salurkan menjadi energi untuk melakukan kegiatan positif. Membuat tulisan tentang kengangguran ini juga salah satu kegiatan positif yang bisa saya lakukan. Setidaknya saya berpikir dan bergerak untuk mengetik tulisan ini. Untuk yang mengalami masalah dengan kesehatan dan kebugaran, tenaga ini bisa kita salurkan untuk berolahraga. Banyak hal lagi yang bisa dilakukan, misalnya berbisnis, memelihara hewan, mendaki gunung atau apapun. Yang penting bergerak, bukan hanya meringkuk dan melamun di kamar kost. Dan yang jelas bermanfaat.
Mari melawan nganggur . . . #melawannganggur

Selasa, 06 Agustus 2013

Awas! Perhatikan Jalan!

Seorang geologist tentunya akan terlatih menjadi manusia yang “memandang batu dengan cara yang tidak biasa”. Kenapa bisa? Silahkan anda coba teori saya ini dengan mengajak seorang geologist berkendara dengan mobil atau sepeda motor. Jika pengendara normal memperhatikan 3 hal : jalan, rambu-rambu, dan pengguna jalan lain; seorang geologist akan memperhatikan satu hal tambahan : batuan. Konsentrasi terpecah? Tentu saja. Jika jalanan sepi tidak masalah. Tetapi kalau seorang geologist sedang berkendara di tengah padatnya arus mudik??

#*---@---*#

Masalah ini kerap saya hadapi setiap perjalan mudik ke Ciamis. Ada beberapa singkapan batuan yang saya hafal letaknya, karena seringnya melewati jalanan tersebut. Singkapan-singkapan ini begitu menarik perhatian saya meskipun sedang berkendara di jalan yang ramai dan padat. Mata yang terbiasa menelisik setiap detil pada tubuh batuan tidak mau melewatkan pemandangan itu. Karena sadar akan kebiasaan itu, saya seringkali mengingatkan rekan tandem sepeda motor saya untuk ikut memperhatikan jalan. Apakah rekan-rekan penggelut bidang geologi juga mengalami hal serupa dalam perjalanan darat?
Batuan sebagai rekan kerja, teman, sekaligus objek penelitian seorang geologist tentunya tidak boleh dilewatkan (paling tidak itu berlaku buat saya). Dimanapun batuan berada, berarti disitu terkandung informasi mengenai kondisi geologi daerah sekitar. Maka wajar jika seorang geologist akan tertarik pada singkapan batuan yang sebenarnya menurut orang awam geologi, “Ah, itu cuma batu biasa”.
Dalam pemetaan, kita dituntut untuk mencari sampai dapat satuan batuan yang mewakili informasi mengenai proses dan sejarah geologi suatu daerah. Kita mencari! Bagaimana jika secara tidak sengaja singkapan itu datang sendiri di dalam perjalanan tanpa kita cari? Walaupun tidak memperhatikan secara detil, paling tidak melihatnya sejenak untuk memanjakan mata (versi geologist) sudah cukup.
Nah, disinilah masalahnya. Keinginan untuk melihat sejenak saja akan membuat seorang geologist yang sedang berkendara memalingkan pandangannya dari jalan. Saat konsentrasi terpecah, secara otomatis perhatian kita pada jalan menjadi berkurang. Jika konsentrasi sudah terganggu potensi sang pengendara untuk masuk ke dalam laporan kecelakaan lalu lintas polisi semakin besar. Jika seorang geologist berkendara di daerah dataran yang “tidak ada apa-apa” mungkin akan aman-aman saja. Tapi jika jalan yang dilalui melewati puluhan tebing dan memotong perbukitan, dan menawarkan pemandangan singkapan yang menawan, potensi bahayanya akan semakin besar. Mudik yang seharusnya jadi momen sukacita, akan berubah menjadi momen dukacita.

Solusi
Bagaimanapun juga kehilangan konsentrasi di jalan akan sangat berbahaya. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang bisa kita – para manusia-manusia batu – lakukan untuk menghindari kecelakaan lalu lintas, diantaranya :
  1. Abaikan sementara keinginan kita untuk memperhatikan kawan kita yang satu itu (maksudnya, batuan). Jika masih penasaran, bisa disiasati dengan melakukannya pada saat perjalanan pulang. Perjalanan pergi kita fokuskan untuk mudik, perjalanan pulang bisa kita sempatkan lebih banyak waktu untuk kawan kita yang satu itu.
  2. Jika hasrat geologi benar-benar tidak bisa ditahan, jangan biarkan anda celingak-celinguk tapi kehilangan konsentrasi pada jalan. Berhentilah sebentar. Berhenti akan lebih aman dibandingkan tetap berjalan tetapi perhatian kita tidak pada jalan. Dengan berhenti secara otomatis kita menyelamatkan diri sendiri dan tidak membuat gusar dan merugikan pengendara lainnya.

#*---@---*#

Mudik alias pulang ke kampung halaman menjadi salah satu agenda tahunan (yang tidak sengaja) menjadi semacam kewajiban bagi umat muslim di Indonesia. Keinginan kuat untuk bersilaturahmi jadi motivasi utama masyarakat Indonesia rela menempuh ratusan hingga ribuan kilometer untuk berkumpul bersama keluarga besar di kampung halaman. Oleh karena itu, pengorbanan untuk perjalanan jauh jangan sampai terbuang sia-sia dengan masuk ke dalam laporan kecelakaan lalu lintas polisi.

SELAMAT MUDIK 

Senin, 05 Agustus 2013

Ingin atau Perlu



VS


Sebagin besar orang yang berkecimpung di bidang geologi menyukai travelling atau bepergian ke tempat-tempat menarik (sebagian lagi tidak). Kebiasaan bekerja di lapangan dan menjelajah daerah-daerah pelosok membuat jiwa petualang para penggelut geologi muncul dengan sendirinya. Sebenarnya akan lebih tepat disebut, seorang geologist secara alami akan tumbuh menjadi orang yang “tidak bisa diam”.
Pasca pulang dari Ekspedisi NKRI 2013 Koridor Sulawesi, saya disambut dengan setumpuk hari-hari “menganggur” tanpa kegiatan yang biasanya menyibukkan saya. Tidak ada UAS, tidak ada Pemetaan Geologi seperti kawan-kawan seangkatan saya, dan tidak ada pembuatan tugas untuk memperbaiki nilai UAS yang memprihatinkan. Menjadi pengangguran selama hampir 2 bulan membuat kaki saya gatal ingin berjalan bertualang ke suatu tempat yang jauh.
Secerca harapan untuk mengusir hari-hari menganggur dan memenuhi hasrat tidak-bisa-diam akhirnya datang. Tidak tanggung-tanggung, Gunung Semeru jadi destinasi utamanya. Salah satu keinginan yang saya damba-dambakan dari dulu. Namun tiba-tiba kebiasaan buruk (yang dalam hal ini jadi sebuah kebaikan) saya muncul, memikirkan sesuatu terlalu berlebihan. Bola keputusan anggaran pengeluaran sedang berada di garis batas antara keinginan mendaki Gunung Semeru dan keperluan membeli sepatu lapangan & harddisk eksternal. Dengan berat hati pilihan akhirnya jatuh di sepatu lapangan dan harddisk eksternal karena saya memerlukannya. Selain itu saya pikir, manfaat yang akan saya peroleh akan lebih banyak ketimbang mendaki G. Semeru. Seandainya mereka sepatu dan harddisk hidup, mereka pasti tertawa lebar dan mengolok-olok G. Semeru karena tidak saya pilih.
Pilihan ini tidak saya buat dengan melempar koin atau menghitung kancing di kemeja hitam kesayangan saya, atau bahkan menghitung nomor polisi kendaraan dengan berbagai rumus seperti halnya para praktisi di bidang “kaya mendadak”. Ini – semoga saya benar – adalah masalah keinginan dan keperluan. “Saya menginginkannya,” atau “Saya memerlukannya”. Pernyataan mana yang akan anda buat jika dihadapkan pada pilihan seperti yang saya alami di atas??

Rabu, 17 Juli 2013

Fosil Kayu Kebun Raya Bogor

Jalan-jalan ke Kebun Raya Bogor setelah bergelut dalam atmosfer kompetisi Pencak Silat IPB Open 2012 menjadi sarana refreshing untuk kami, tim Kontingen Semarang. Belum masuk ke dalam, saya dikejutkan dengan kehadiran sebatang kayu besar tepat di depan pintu masuk Kebun Raya Bogor (mungkin saya satu-satunya orang yang terkejut dengan keberadaannya). Rupanya kayu ini adalah sebuah fosil!

#*---@---*#




“Dilarang duduk di atas fosil kayu”, itulah kalimat yang tertulis di papan peringatan di sebelah ‘kayu’ ini. Sepertinya tidak banyak yang tertarik dengan ‘kayu’ ini. Orang-orang mungkin hanya menganggap ‘kayu’ ini hanyalah sebuh kayu biasa yang sudah membatu dan menjadi keras. Lebih dari itu, ada peristiwa pembentukan ribuan hingga jutaan tahun yang membuat ‘kayu’ ini menjadi istimewa di mata seorang geologist.
Kayu tersebut telah berubah menjadi fosil atau dalam dunia geologi lebih dikenal dengan petrified wood. Petrified wood merupakan salah satu jenis fosil yang telah mengalami perubahan, terutama pada material penyusunnya. Dengan kata lain, fosil kayu ini tidak lagi seluruhnya terdiri dari kayu.
Fosil ini mengalami perubahan berupa permineralisasi. Bagian tubuh kayu yang porous (berongga) yang asli terawetkan, tetapi beberapa unsur mineral sekunder mengisi ruang antar sel. Mineral sekunder adalah mineral-mineral yang dibentuk kemudian dari mineral-mineral utama oleh proses pelapukan, sirkulasi air, atau larutan dan metamorfisme. Dalam hal ini, proses pembentukan mineral sekunder yang paling mungkin terjadi adalah sirkulasi air.
Akibat penambahan mineral sekunder, fosil menjadi lebih berat dan lebih awet daripada bagian tubuh asli yang tak terubahkan. Tubuh fosil juga akan menjadi lebih keras karena terpengaruh oleh sifat fisik mineral sekunder tersebut.



Sumber :
Graha, Doddy Setia. 1987. Batuan dan Mineral. Bandung ; Penerbit Nova.

Endarto, Danang. 2005. Pengantar Geologi Dasar. Surakarta : Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press).

Minggu, 23 Juni 2013

Geologist Needs Blog!

 

Blog sudah bukan lagi barang mewah bagi para pengguna internet. Layanan blog gratis menjamur di berbagai situs dunia maya sehingga orang awam pun sudah bisa membuat akun blognya sendiri. Kontennya pun beragam, mulai dari informasi kesehatan, komik mingguan, sampai curahan hati alias ‘curhat’ si penulis.
Seorang geologist adalah satu dari milyaran manusia di dunia yang membutuhkan blog. Curhat adalah fungsi sampingannya (seperti tulisan ini), tapi yang paling utama adalah sebagai sarana publikasi karya ilmiah. Jika tidak ada karya ilmiah, paling tidak blog diisi dengan teori-teori dasar geologi yang berkenaan dengan kehidupan sehari-hari.
Begitu dibutuhkankah blog bagi seorang geologist? Jawabannya adalah ya! Hal-hal sederhana dalam kehidupan sebenarnya berkaitan erat dengan geologi, misalnya pembuatan sumur galian atau sungai yang banjir di belakang rumah kita. Kejadian-kejadian tersebut bisa dijelaskan secara ilmiah melalui teori-teori dasar geologi. Penjelasan akan ‘memaksa’ geologist penggiat blog untuk melakukan analisis terhadap kejadian-kejadian tersebut. Otak geologist kemudian diputar kembali untuk menyederhanakan hasil analisis tersebut sehingga informasi yang disampaikan dapat diterima oleh semua pembaca.
Setelah saya juga memutar otak untuk menulis artikel ini, saya menemukan empat manfaat yang diperoleh dari kegiatan blogging seorang geologist, yaitu:
1.    Mempertajam kemampuan analisis geologi
2.    Menumbuhkan kebiasaan menulis ilmiah
3.  Dapat menjelaskan fakta-fakta ilmiah dalam bahasa populer yang mudah dipahami semua kalangan.
4.    Memperkenalkan ilmu geologi ke khalayak luas (karena menurut saya geologi adalah salah satu ilmu yang paling tidak populer di masyarakat).
Menuntut ilmu adalah perbuatan yang baik, namun akan lebih baik lagi jika kita bisa menyampaikan dan menyebarkan ilmu itu kepada orang lain. Blog adalah salah satu sarana tepat untuk berbagi ilmu kepada dunia. Geologist do needs blog!

*dalam rangka 1 tahun mengudara blog tercinta . . .

Ads Inside Post