Jumat, 09 Oktober 2015

Bekerja

Sumber: www.mcip-pdx.org

Bekerja adalah sebuah kebutuhan. Setiap orang harus bekerja. Setiap orang butuh pekerjaan. Bekerja adalah tuntutan. Saking pentingnya bekerja, kata “kerja” menjadi slogan pemerintahan saat ini. Tak ketinggalan logo peringatan HUT RI ke-70 pun ikut menggembar-gemborkan “kerja”.

Menyegerakan diri untuk bekerja bukan berarti mempersempit waktu untuk merenung dan berpikir. Sebuah hal kecil namun penting. “Untuk apa kita bekerja? Untuk membiayai hidup pribadi dan keluarga? Untuk Untuk berbakti kepada instansi? Atau untuk memperoleh lebih banyak ilmu?”. Itu dia, tujuan.

Bekerja adalah media mencapai tujuan. Namun, tujuan tak akan berarti tanpa kesungguhan selama prosesnya. Bekerja juga merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan untuk memperoleh hak. Mari bekerja dengan baik. Bekerja bukan sekedar rutinitas harian yang membuat kita kelelahan. Bekerja adalah tanggung jawab.

Selasa, 01 September 2015

Lima Ratus Tujuh Belas



Hari ini, 1 September 2015 adalah hari yang penting. Ada apa gerangan? HUT Polwan? Atau sidang perdana perceraian Nazar dan Muzdalifah? Bukan. Hari ini adalah hari jadi Kabupaten Kuningan ke-517.

___________
 
Saya lahir di kota kecil nan sejuk itu 23 tahun lalu. Dua puluh tiga tahun yang berawal dari masa kecil yang dikelilingi orang-orang ramah dengan logat dan kosakata Bahasa Sunda yang unik. Dua belas tahun masa sekolah bersama teman sebaya dengan berbagai tingkah polah dari seluruh penjuru Kuningan hingga akhirnya harus merantau untuk kuliah selama 5 tahun. Meskipun saat ini jarang berada di Kuningan, kesan Kuningan sebagai kota yang aman dan tentram terus melekat dalam diri saya.

Anda tidak akan menemukan hiruk pikuk kendaraan roda dua dan roda empat yang sangat sibuk di jalan-jalan utama Kuningan. Pohon-pohon masih tegak berdiri menaungi jalan-jalan dan pemukiman di setiap sudut kota. Pesona Gunung Ciremai di sebelah barat kota menambah keelokan pemandangan saat pagi dan sore hari. Benar-benar tempat yang luar biasa. Tempat tinggal terbaik, menurut saya.

Memasuki usianya yang ke-517, Kuningan saat ini sedang gencar memulai geliat ekonomi dan pariwisata yang disertai dengan pembangunan infrastruktur pendukungnya. Semoga seluruh program pengembangan daerah dapat berjalan dengan baik. Semoga Kabupaten Kuningan dapat terus berbenah dan berkembang, akan tetapi tetap tidak melupakan prinsip dan jatidiri Kabupaten Kuningan sebagai daerah yang ASRI: Aman, Sehat, Rindang, Indah. 


#limaratustujuhbelas

Rabu, 05 Agustus 2015

Job Seeker

Find job (sumber: http://www.semuaberes.cool)





Sidang sarjana, sudah. Gelar Sarjana Teknik, sudah. Sekarang tinggal menunggu prosesi Wisuda Periode 140 Universitas Diponegoro Oktober mendatang. Mulai sekarang, saya resmi menyandang predikat sebagai seorang job seeker.

Bagi saya, kata job seeker adalah istilah halus untuk seorang (maaf) pengangguran yang masih gigih berupaya mencari pekerjaan yang cocok dengan kemampuan dan keinginannya. Seseorang dengan status job seeker akan cenderung mencari pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya saat kuliah. Sebagai contoh, saya menempuh program S1 Teknik Geologi dan saya berupaya mencari pekerjaan di bidang pertambangan, perminyakan, dan bidang lain yang terkait dengan teknik geologi. Dengan demikian ilmu yang diperoleh selama kuliah bisa dimanfaatkan untuk memenuhi nafkah, sekaligus diperkaya dengan pengalaman dan pengetahuan baru. 

Namun terkadang, seorang job seeker harus menerima kenyataan bahwa peluang pekerjaan di bidangnya sangat kecil sehingga ia terpaksa ‘banting setir’ dan masuk ranah bidang lain. Untuk yang satu ini sepertinya agak berat dilakukan. Alasannya? “Jangan lah, sayang ilmunya”, atau “Masa kuliah susah-susah 5 tahun kerjanya cuma gitu doang”. Sang job seeker harus belajar hal baru lagi dan melakukan pekerjaan diluar kebiasaannya yang mungkin ‘nggak gue banget’. Sebagai contoh, karena saya mahasiswa teknik geologi, seorang lulusan teknik geologi yang biasa berpanas-panas ria di lapangan, harus duduk manis di belakang meja menjadi seorang staf administrasi. 

Saya sendiri bagaimana? Sampai saat ini saya masih seorang job seeker yang memilih mencari peluang kerja sebagai pegawai daripada belok ke jalan lain. Ada banyak skenario ala job seeker yang saya susun di dalam kepala, seandainya saya menjadi seorang praktisi (pegawai) ataupun akademisi (dosen) di bidang geologi. Saya masih belum memikirkan skenario seandainya saya terpaksa harus hijrah ke bidang lain dengan suasana dan kebiasaan yang berbeda. Saya masih ingin bersama geologi, kawan setia saya selama 5 tahun.

Minggu, 24 Mei 2015

Festival Layang-layang HUT Kota Semarang Ke-468




Bermain . . . berlari
Bermain layang-layang
Bermain kubawa ke tanah lapang
Hatiku riang dan senang

Beberapa kalimat di atas adalah sepenggal lirik lagu Layang-layang, yang pada saat saya masih anak-anak sangat populer. Sekarang, selain lagunya memang tidak lagi populer, bermain layang-layang pun jadi ikut-ikutan tidak populer. Jika anda memperhatikan langit saat terik tanpa awan, anda tidak akan melihat lagi puluhan benda berbentuk segiempat melayang-layang di udara. Mungkin layang-layang sudah bukan lagi mainan menarik bagi anak masa kini.
Sebagai generasi yang pernah merasakan serunya merakit, menerbangkan, dan mengejar layang-layang, saya sangat merindukan kehadiran mainan satu ini. Kerinduan saya seakan terkabul di Festival Layang-layang yang diadakan dalam rangka menyambut HUT Kota Semarang yang ke-468. Festival ini diadakan pada hari Minggu, 24 Mei 2015, bertempat di Waduk Jatibarang, Kec. Gunungpati, Kota Semarang.
Puluhan layang-layang dengan bentuk unik mengudara di atas lokasi festival. Ada yang berbentuk sepasang penari adat Jawa, ulat raksasa, ikan pari, burung, dan lain-lain. Layang-layang dibuat semenarik mungkin untuk mencuri perhatian para juri. Sembari menonton, penonton yang memadati pinggir lapangan dihibur dengan musik dangdut dan biduan cantik. Yah setidaknya terik matahari jam 11.30 siang jadi sedikit terlupakan.

Sebelum mengudara (1)
Sebelum mengudara (2)

Kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Semarang ini sangat bermanfaat dalam mengingatkan kembali masyarakat terhadap layang-layang. Bisa dibilang selain sarana bersenang-senang, festival ini sekaligus menjadi sarana edukasi, khususnya bagi keluarga. Orang tua bernostalgia, sedangkan anak mendapat pengetahuan tentang layang-layang sebagai mainan tradisional. Lebih bagus lagi apabila anak tertarik untuk merakit dan bermain layang-layang. Layang-layang dan lagunya akan kembali populer.
Ternyata ada dua hal yang seharusnya saya ingat sebelum pergi, festival layang-layang selalu diadakan di tanah lapang (seperti lagunya) dan ini Semarang. Ah tidak, cuacanya panas sekali. Seharusnya saya datang lebih pagi . . .



Kamis, 30 April 2015

Secubit Inspirasi Dari Kue Cubit



Kadang ide-ide aneh muncul saat kami sedang berkumpul dan bergurau. Ini yang paling aneh, “bikin kue cubit yuk . . .”

Kue cubit, hanya contoh (masakanlezat.com)
Semuanya berawal dari ajakan teman dari kos-kosan sebelah, sebut saja Fadil. Dia sering mengajak kami untuk sekedar jajan makanan kecil, kue cubit. Rasanya enak, manis, namun sayang mahal, ditambah lagi itu cuma satu-satunya di Tembalang. Itulah sebabnya kami jarang mau jadi pengikutnya membeli kue cubit.

Mungkin karena bosan dengan penolakan kami, akhirnya ia manawarkan untuk membuat kue cubit sendiri. Konyol. Dan lagi kami semuanya laki-laki. Belum pernah ada di antara kami yang benar-benar berpengalaman membuat kue. Tapi Fadil tetap bersikukuh untuk merealisasikan idenya itu. Alhasil dibelilah satu set wajan cetakan kue cubit, 1 kg tepung terigu, gula pasir, bubuk vanili, telur, dan margarin.

Kami hanya punya modal “membantu ibu di dapur saat membuat kue lebaran dan natal”. Sisanya kami serahkan kepada internet sebagai tempat orang-orang bingung dan kurang berpengalaman mencari jawaban atas segala pertanyaannya. Kami buat adonan, memasaknya dalam wajan, memberikan macam-macam toping, hingga akhirnya tersajilah kue cubit manis dengan warna kuning kecokelatan di piring.

Rasanya, jangan ditanya, masih kurang mantap. Percobaan pertama. Saya Coba me-review bahan-bahan, cara pembuatan, dan biaya yang kami keluarkan. Ternyata cukup murah. Dengan biaya kira-kira Rp 50.000, kami sudah bisa membuat adonan untuk 20 buah kue cubit. Itupun masih menyisakan 800 gram tepung terigu dan gula pasir. Seketika saya berpikir kue cubit ini merupakan ide menarik untuk berwirausaha.

“Jangan pernah takut bereksperimen”, begitu kira-kira kalimat yang diucapkan Fadil ia sedang mencampurkan dan mengaduk adonan kue cubit. Agaknya kalimat ini juga berlaku untuk kami yang berencana segera lulus ini. Jangan pernah takut bereksperimen dengan berbagai macam upaya yang bisa kita lakukan untuk berwirausaha, apalagi saat lapangan pekerjaan di bidang geologi sedang sulit seperti sekarang.Wirausaha tidak harus besar. Wirausaha bisa kita mulai dari hal-hal kecil dan murah seperti kue cubit. Hmmm saya jadi berpikir sejenak. Mungkin ide kedai kopi dengan hidangan istimewa kue cubit patut dicoba . . .

Ads Inside Post