Selasa, 22 November 2011

Metamorfisme Kontak


Metamorfisme kontak terjadi akibat adanya intrusi tubuh magma panas pada batuan yang dingin dalam kerak bumi. Metamorfisme kontak terjadi pada zona kontak atau sentuhan langsung dengan tubuh magma (intrusi) dengan lebar antara 2 – 3 km. Akibat kenaikan suhu, maka rekristalisasi kimia memegang peran utama. Sedangkan deformasi mekanik sangat kecil, bahkan tidak ada, karena stress disekitar magma relatif homogen. Batuan yang terkena intrusi akan mengalami pemanasan dan termetamorfosa, membentuk suatu lapisan di sekitar intrusi yang dinamakan aureole metamorphic (batuan ubahan). Tebal lapisan tersebut tergantung pada besarnya tubuh intrusi dan kandungan H2O di dalam batuan yang diterobosnya. Misalkan pada korok ataupun sill yang seharusnya terbentuk lapisan setebal beberapa meter hanya akan terbentuk beberapa centimeter saja tebalnya apabila tanpa H2O. Batuan metamorf yang terjadi sangat keras terdiri dari mineral yang seragam dan halus yang saling mengunci (interlocking), dinamakan Hornfels.
Pada intrusi berskala besar, bergaris tengah sampai ribuan meter menghasilkan energy panas yang jauh lebih besar, dan dapat mengandung H2O yang sangat banyak. Aureol yang terbentuk dapat sampai ratusan meter tebalnya dan berbutir kasar. Di dalam lapisan yang tebal yang sudah dilalui cairan ini, terjadi zonasi himpunan mineral yang konsentris. Zona ini mencirikan kisaran suhu tertentu. Dekat intrusi dimana suhu sangat tinggi dijumpai mineral bersifat anhidrous seperti garnet dan piroksen. Kemudian mineral bersifat hidrous seperti amphibol dan epidot. Selanjutnya mika dan klorit. Tektur dari zonasi tersebut tergantung pada komposisi kimia batuan yang diterobosnya, cairan yang melaluinya serta suhu dan tekanan.

 
Dari pengamatan berbagai daerah kontak ada beberapa ciri umum yang dapat dikemukakan. Pertama, lebar maksimum daerah kontak yang diketahui adalah lebar maksimumnya diukur tegak lurus kontak. Karena umumnya kontak itu miring pada singkapan, sedangkan konfigurasinya di kedalaman jarang diketahui. Lebar maksimum sampai 1 kilometer atau lebih.
Daerah kontak yang lebar biasanya berhubungan dengan batuan granitik (diorit, kuarsa, granodiorit, monzonit kuarsa). Namun intruisi batuan basa yang berbentuk lembaran juga dapat dibatasi oleh daerah kontak yang luas, khususnya di bagian dasarnya. Intrusi ini bentuknya berupa cekungan dengan ketebalan 8 km, dengan daerah kontak antara 100 sampai 3000 meter. Di bagian luar dicirikan oleh zona andalusit, sedangkan bagian dalam terutama batutantuk (hornfel) pelitik dengan biotit kordierit, kuarsa, andalusit garnet, dan feldspar.


Dalam daerah kontak terdiri atas batuan argilit terjadi perzonaan, umumnya dari bagian luar ke dalam ialah spotted states dan sekis ke batu induk masing-masing dicirikan oleh :
·      Muskovit dan klorit di bagian paling luar
·      Biotit dengan atau tanpa andalusit lebih ke dalam
·      Biotit, kordierit dan silimanit pada kontak
Mineral aluminium terkadang berupa kloritoid (di luar) strautolit, almandin, garnet, dan kianit, walaupun umumnya mencirikan batuan pelitik yang mengalami metamorfisme regional.
Dalalam daerah kontak langsung diperhitungkan kesempurnaan dan tercapai keseimbangan antara mineral-mineral, maka itu diperlukan waktu. Jangka waktu pemanasan maksimum bagi batuan di sekitarnya sebanding dengan kuadrat ketebalan tubuh intrusi. Dinyatakan dalam tahun 0,01 D2 (D = tebal intrusi). Wingkler (1967) telah mencoba memperkirakan ketebalan tubuh intrusi dengan jangka waktunya :
D      = 1 m, jangka waktu 3 hari.
D      = 10 meter, watu 1 tahun.
D      = 100 meter, jangka waktu sepuluh tahun juga.
D      = 1000 meter jangka waktu 10000. Aku belum bisa berlapis-lapis
Tubuh intrusi beberapa ratus sampai beberapa ribu meter tebalnya, suhu maksimumnya yang diteruskan ke batuan sekitarnya akan bertahan untuk waktu yang panjang. Berarti cukup waktu untuk mencapai kesempurnaan dan keseimbangan reaksi.
Batuan metemorfisme kontak yang menunjukkan sekistositas mewarisi struktur dari batuan metamorf sebelum atau struktur tersebut terbentuk selama intrusi. Mineral hasil metamorfisme kontak kebanyakan serupa dengan mineral metamorfisme kontak yang setara derajatnya.

Sumber :
Al-Arsyad, Maulana Lawai. 2011. Batuan Metamorf. http://www.wingmanarrows.wordpress.com.
Anonimous. 2010. Jenis Metamorfisme. http://doctorgeologyindonesia.blogspot.com.
Setia Graha, Doddy , 1987, Batuan dan Mineral , Bandung: Penerbit Nova.

Rabu, 16 November 2011

Gunung Tangkuban Perahu


Gunung Tangkuban Perahu merupakan salah satu gunung api tipe-A yang beberapa tahun ke belakang menjadi pembicaraan hangat di beberapa media massa terkait peningkatan aktivitas vulkaniknya. Gunung yang terkenal dengan legenda Sangkuriangnya itu merupakan salah satu bentuk bentang alam vulkanik yang menarik untuk dipelajari.
Gunung Tangkuban Perahu adalah salah satu gunung yang terletak di Provinsi Jawa Barat.  Sekitar 20 km ke arah utara Kota Bandung, dengan rimbun pohon pinus dan hamparan kebun teh di sekitarnya, gunung Tangkuban Parahu mempunyai ketinggian setinggi 2.084 meter.

Gunung Tangkuban Perahu memiliki bentuk kerucut dengan sisi-sisi yang terjal. Puncaknya berbentuk cekung seperti panci. Kawah-kawah Gunung Tangkuban Perahu juga mengeluarkan material-material berupa lava dan sulfur. Pada kawah yang sudah mati, tersingkap batuan yang beraliterasi hidrotermal yang membentuk mineral sulfida.
Secara umum, Gunung Tangkuban Perahu tersusun dari perselingan antara aliran lava dan breksi piroklastik. Litologi lava dan breksi piroklastik tersebut terbentuk karena lava Gunung Tangkuban Perahu yang berjenis intermediet sehingga tipe erupsinya berupa campuran antara aliran lava dan ledakan (explosion). Oleh karena itu, Gunung Tangkuban Perahu dimasukkan ke dalam golongan gunung api strato (stratovolcano).
Gunung Tangkuban Parahu ini termasuk gunung api aktif yang statusnya diawasi terus oleh Direktorat Vulkanologi Indonesia. Beberapa kawahnya masih menunjukkan tanda tanda keaktifan gunung ini. Diantara tanda gunung berapi ini adalah munculnya gas belerang dan sumber-sumber air panas di kaki gunung nya diantaranya adalah di kasawan Ciater, Subang.
Kegiatan vulkanisme Gunung Tangkuban Perahu telah membentuk morfologi berupa depresi vulkanik di sekitarnya. Depresi vulkanik adalah bentuk morfologi berupa cekungan hasil dari kegiatan vulkanisme. Depresi vulkanik dapat berupa danau vulkanik, kawah dan kaldera. Dalam hal ini, aktivitas vulkanisme Gunung Tangkuban Perahu telah membentuk banyak kawah yang sampai sekarang masih terus mengeluarkan material vulkanik berupa lava dalam jumlah kecil dan uap sulfur. Kawah-kawah terbentuk sebagai akibat dari pusat erupsi yang berpindah dari arah timur ke barat. Kawah-kawah tersebut adalah Kawas Ratu, Kawah Domas, dan Kawah Upas.
Proses pembentukan Gunung Tangkuban Perahu masih menyisakan tanda tanya bagi para ahli. Dugaan sementara proses pembentukan Gunung Tangkuban Perahu dan wilayah Bandung saling berhubungan satu sama lain. Salah satu teori menyebutkan bahwa Gunung Tangkuban Perahu dan wilayah Bandung merupakan sisa-sisa dari aktivitas gunung api purba di masa lalu.
Berdasarkan teori tersebut, Gunung Tangkuban Perahu berasal dari sebuah gunung api purba yang bernama Gunung Sunda. Gunung Tangkuban Perahu diyakini sebagai sisa dari letusan Gunung Sunda tersebut. Topografi Bandung yang berupa cekungan dengan bukit dan gunung di sekitarnya semakin menguatkan teori bahwa Bandung merupakan hasil depresi vulkanik berupa kawah Gunung Sunda. Fenomena seperti ini dapat dilihat pada Gunung Krakatau di Selat Sunda dan kawasan Ngorongro di Tanzania, Afrika.

La Grande Dune du Pyla


Bukit pasir raksasa Pyla ini berada di daerah barat daya Perancis dipesisir Samudra Atlantik. Bukit pasir ini merupakan salah satu bentukan dari proses erosi, transportasi, dan pengandapan oleh angin, dan kemudian membentuk bentuk lahan eolian seperti Pyla saat ini.

Pyla, Perancis

Proses pembentukan bukit pasir ini bermula dari erosi oleh angin terhadap material-material yang ringan dan mudah terbawa angin. Material yang terlepas dari batuan terbawa angin dan mengalami proses transportasi hingga pantai Pyla. Dilihat dari material pembentuk bukit pasir ini, material lepasan yang terbawa oleh angin dalam proses pembentukannya tertransport dengan cara melayang (suspension). Proses transport ini terjadi karena material yang dibawa angin sangat ringan dan halus.
Angin yang membawa material lepasan terus melaju ke arah pantai Pyla. Keberadaan pulau-pulau kecil di depan pantai Pyla menghambat laju angin an mengurangi kecepatannya sehingga energi transportnya menurun. Enerrgi transport yang menurun ini mengakibatkan material yang dibawa angin sedikit-demi sedikit mulai terendapkan. Sebagian material tersebut akhirnya terendapkan di pulau-pulau tersebut. Angin masih tetap bertiup dan membawa sebagian material lainnya. Vegetasi yang lebat di pesisir pantai membuat gaya hambat angin semakin bertambah dan mengurangi kecepatannya. Karena kecepatan dan energi transpornya berkurang sangat drastis, maka material yang terbawa angin tersebut terendapkan dalam jumlah yang besar. Proses ini terus berlangsung hingga saat ini dan membentuk bukit raksasa Pyla seperti sekarang.


Dune du Pyla tampak atas

Bukit pasir Pyla ini termasuk kedalam bentuk bentang alam eolian hasil pengendapan oleh angin dengan jenis dune. Dune adalah suatu timbunan pasir yang dapat bergerak atau berpindah, bentuknya tidak dipengaruhi oleh bentuk permukaan ataupun rintangan. Berdasarkan ukurannya, dune ini bias disebut sebagai mehadunes karena luas penyebarannya yang mencapai lebar 300 – 3 km dan tinggi 20 – 400 m.
Menurut Hace (1941) dan Thorrnbury (1964), bukit pasir Pyla ini tergolong ke dalam jenis parabolic dunes. Jenis dune ini dicirikan dengan bentuknya yang seperti bulan sabit, sendok, atau parabola. Bentuk yang menyerupai parabola tersebut disebabkan oleh adanya vegetasi yang menghambat laju angin. Angin yang terhambat akan mencari jalan melewati bagian tepi dari kumpulan vegetasi. Sebagian material akan terendapkan di bagian tengah, sementara sebagian lainnya terendapkan di bagian tepi kumpulan vegetasi, sehingga membuat bentuk seperti parabola.
Sementara menurut klasifikasi Emmon (1960), bukit pasir Pyla ini termasuk ke dalam bukit pasir transversal (transversal dune). Menurut klasifikasi Emmon, transversal dune terbentuk pada daerah dengan penambahan pasir yang banyak dan kering, angin bertiup secara tetap misalnya pada sepanjang pantai. Pasir yang banyak itu akan menjadi suatu timbunan pasir yang berupa punggungan atau deretan punggungan yang melintang terhadap arah angin. Dalam kasus ini, bukit pasir raksasa Pyla menyebar sepanjang garis pantai dan tegak lurus terhadap arah anginnya. Maka benar bahwa bukit pasir ini termasuk golongan transversal dune.
Kawasan La Grande Dune de Pyla saat ini dimanfaatkan sebagai objek wisata lokal dan mancanegara. Keberadaan bukit pasir raksasa ini menarik perhatian para wisatawan untuk berkunjung ke sana. Kondisi morfologinya yang unik berpotensi untuk menjadi objek studi terutama di bidang geologi.
Disamping manfaat, keberadaan bukit pasir ini juga membawa kerugian terutama bagi penduduk yang tinggal di sekitar kawasan La Grande Dune du Pyla. Pengendapan material oleh angin yang terus berlanjut akan menyebabkan terjadinya perluasan penyebaran bukit pasir ke daerah di sekitarnya. Jika penyebaran ini terus merambat hingga ke pemukiman dan tempat-tempat usaha di sekitar pantai, dikhawatirkan akan menyebabkan lumpuhnya kegiatan turisme maupun ekonomi karena infrastruktur yang semakin hari semakin tertutup oleh pasir yang semakin tersebar luas.

Sumber :
Anonimous. 2010. Pemandangan Indah dari Bukit Pasir Pyla (http://epaper.mediaindonesia.com , diakses 9 Mei 2011).
Staff Asisten Geomorfologi dan Geologi Foto 2011. 2011. Panduan Praktikum Geomorfologi dan Geologi Foto. Semarang : Program Studi Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.

Sedimen Fosfat


         Fosfat alam (rock phosphate) adalah nama umum yang digunakan untuk beberapa jenis batuan yang mengandung mineral fosfat dalam jumlah yang cukup signifikan, atau nama mineral yang mengandung ion fosfat dalam struktur kimianya. Banyak jenis batuan mempunyai komponen yang mengandung fosfat, akan tetapi batuan yang mengandung sejumlah fosfat yang mempunyai nilai ekonomi sebagai bahan tambang atau bijih tambang tidak banyak dijumpai.
Definisi fosfat alam menurut  American Geological Institute adalah batuan sedimen yang tersusun terutama oleh mineral fosfat (Gary at al., 1974). Berdasarkan pada komposisi mineralnya batuan sedimen fosfat dapat dibedakan atas fosfat-Ca, fosfat Ca-Al-Fe dan fosfat Fe-Al (McClellan dan Gremillon, 1980). Ketiga jenis fosfat tersebut dapat merupakan suatu sekuen pelapukan dengan fosfat Fe-Al adalah yang paling lapuk.
Berdasarkan proses-proses  pembentukannya fosfat alam dapat dibedakan atas tiga:
·      Fosfat primer terbentuk dari  pembekuan magma alkali yang mengandung mineral fosfat apatit, terutama fluor apatit {Ca5(PO4)3F}. Apatit dapat dibedakan atas  Chlorapatite 3Ca3(PO4)2CaCl2  dan Flour apatite 3Ca3(PO4)2CaF2

Mineral Apatit

·      Fosfat sedimenter (marin), merupakan endapan fosfat sedimen yang terendapkan di laut dalam, pada lingkungan alkali dan lingkungan yang tenang.  Fosfat alam terbentuk di laut dalam bentuk  calcium phosphate yang disebut  phosphorit. Bahan endapan ini dapat diketemukan dalam endapan yang berlapis-lapis hingga ribuan milpersegi. Elemen P berasal dari pelarutan batuan, sebagian P diserap oleh tanaman dan sebagian lagi terbawa oleh aliran ke laut dalam.
·      Fosfat guano, merupakan hasil akumulasi sekresi burung pemakan ikan dan kelelawar yang terlarut dan bereaksi dengan batu gamping akibat pengaruh air hujan dan air tanah
Kelompok sedimen fosfat merupakan kelompok yang jumlahnya sedikit jika dibandingkan dengan jenis batuan nonklastik yang lain. Umumnya dijumpai dalam bentuk mineral apatit (Ca5(PO4)3(F, Cl, OH) (> 1% F) dan dahlite (< 1% F). Kelompok ini merupakan sumber daya alam yang penting, karena merupakan bahan utama pembuatan pupuk dan berbagai industri kimia. Selain itu fosfat juga sering berasosiasi dengan unsur-unsur penting seperti uranium, fluorin, dan vanadium.
Endapan fosfat biasanya dijumpai dalam tiga bentuk endapan, yaitu :
·      Nodular dan bedded phosphorites
·      Bioclastic dan pebble-bed phosphorites yang berasal dari sediment rework
·      Oceanic-island phosphorites, yang berhubungan dengan guano.
Fosfat sebagai pupuk alam tidak cocok untuk tanaman pangan, karena tidak larut dalam air sehingga sulit diserap oleh akar tanaman pangan. Fosfat untuk pupuk tanaman pangan perlu diolah menjadi pupuk buatan.
Di Indonesia, jumlah cadangan yang telah diselidiki adalah 2,5 juta ton endapan guano (kadar P2O5= 0,17-43 %). Keterdapatannya di Propinsi Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan NTT, sedangkan tempat lainnya adalah Sumatera Utara, Kalimantan, dan Irian Jaya.
Di Indonesia, eksplorasi fosfat dimulai sejak tahun 1919. Umumnya, kondisi endapan fosfat guano yang ada ber-bentuk lensa-lensa, sehingga untuk penentuan jumlah cadangan, dibuat sumur uji pada kedalaman 2 -5 meter. Selanjutnya, pengambilan contoh untuk analisis kandungan fosfat. Eksplorasi rinci juga dapat dilakukan dengan pemboran apabila kondisi struktur geologi total diketahui.

Sumber :
Kasno, A, dkk. Deposit, Penyebaran, dan Karekteristik Fosfat Alam.
Pusat Penelitian dan Pengambangan Teknologi Mineal dan Batubara. 2005. Fosfat. http://www.tekmira.esdm.go.id.

Ads Inside Post